Apa itu Infeksi Opportunistik?
Infeksi opportunistik adalah infeksi pada individu
yang mengalami penurunan keadaan imun. Sehingga, bakteri/parasit/virus
yang pada keadaan normal tidak mengakibatkan keadaan klinik apa-apa akan
mengakibatkan manifestasi klinis penyakit. Seorang dokter harus
mencurigai timbulnya infeksi opportunistik apabila pasien yang
ditanganinya adalah pasien yang mengalami penurunan sistem kekebalan
tubuh. Keadaan apasajakah yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan
tubuh? Marilah kita mengenalnya lebih dekat
Immunodefisiensi
Secara umum, ada dua pembagian utama dari
keadaan-keadaan immunodefisiensi: immunodefisiensi yang didapat dan
immunodefisiensi congenital (dari lahir). Immunodefisiensi congenital
artinya ada suatu kelainan bawaan tertentu yang menyebabkan sistem imun
pasien tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah
DiGeorge Syndrome dimana terjadi delesi pada kromosom 22q11.2 sehingga
timus menjadi hipoplastik. Timus penting untuk maturasi limfosit T-sel
sehingga akhirnya sel limfosit T yang beredar di seluruh tubuh adalah
yang imatur.
Selain immunodefisiensi kongenital, ada juga
penurunan sistem imun yang didapat. Artinya, ada suatu kejadian yang
menyebabkan timbulnya penurunan sistem kekebalan tubuh ini. Sangat
banyak faktor yang dapat menyebabkan immunodefisiensi jenis ini seperti
infeksi, komplikasi dari terapi lain. Pada tentir ini kita akan membahas
dua penyebab immunodefisiensi yang penting yaitu: infeksi virus HIV dan
obat-obatan.
Pada infeksi HIV, virus akan menyerang reseptor CD4
pada sel limfosit, makrofag dan sel dendritik. Lumpuhnya sel-sel diatas
yang sangat penting bagi pertahanan tubuh akan menyebabkan penurunan
daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang menurun ini pada akhirnya akan
mendorong timbulnya berbagai infeksi oportunistik pada pasien.
Penggunaan obat-obatan yang menyebabkan penurunan
kekebalan tubuh disebut Iatrogenic (Iatros= bahasa yunani untuk DOKTER)
immunodeficiency. Obat-obatan antiinflamasi seperti kortikosteroid
mapun cyclosporin akan mengurangi reaksi inflamasi sehingga akan
mengurangi daya tahan tubuh. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh adalah obat-obatan kemoterapi. Obat-obatan
kemoterapi menyasar sel-sel yang dapat membelah dengan cepat (Ingat, sel
kanker adalah sel yang membelah dengan kecepatan sangat tinggi). Salah
satu sel yang membelah dengan kecepatan tinggi di dalam tubuh adalah
prekursor dari sel darah putih. Oleh karena itu, jumlah sel darah putih
akan berkurang dalam tubuh sehingga menyebabkan immunodefisiensi.
Tentunya, selain infeksi virus dan juga penggunaan
obat-obatan ada juga penyebab lain dari immunodefisiensi seperti faktor
malnutrisi dimana pada konsumsi protein yang sedikit akan menyebabkan
penurunan kemampuan maturasi dan fungsi kerja dari limfosit. Selain itu,
pada pasien yang mengalami splenektomi –> pengambilan dari spleen
akan menyebabkan fungsi fagositosis dari sel darah putih akan menurun.
Infeksi Opportunistik yang disebabkan oleh parasit
Di tentir sebelumnya, kita sudah
membahas infeksi opportunistik yang disebabkan oleh agen etiologi lain
seperti bakteri dan juga virus. Pada tentir ini, kita akan membahas
tentang infeksi opportunistik yang disebabkan oleh parasit. Mengapa
infeksi yang disebabkan oleh parasit ini berbeda dengan infeksi yang
lainnya? infeksi oportunistik yang disebabkan parasit biasanya
menyebabkan gejala-gejala klinis yang lebih parah dan memiliki efek
jangka panjang yang lebih berbahaya. Dua parasit yang akan kita pelajari
hari ini adalah : Strongyloides stercoralis dan Cryptosporidium parvum
1.Strongyloides stercoralis
Strongyloides stercoralis adalah nematoda yang merupakan
parasit pada manusia. Parasit ini memiliki habitat pada usus kecil
manusia.Selain S. stercoralis, ada spesies-spesies lain yang menginfeksi
usus halus hewan-hewan mamalia seperti S. canis dan S.fuellebomi.
Namun, pada tentir ini kita hanya akan membahas S.stercoralis karena
merupakan satu2nya yg menginfeksi manusia.
Daur Hidup S.stercoralis
1: Larva rabditiform dijumpai di tanah dan merupakan larva S. stercoralis yang umumnya dijumpai di feses.
2: Larva rabditiform akan berkembang menjadi larva dewasa dimana larva dewasa akan memproduksi telur (3)
3:Telur dewasa akan dihasilkan dari cacing betina.
4:Larva rhabditiform akan muncul dari telur
5:Larva rhabditiform akan berkembang menjadi stadium filariform.
6:Larva filariform akan menembus kulit dan menyebabkan infeksi
7:Larva filariform akan bergerak ke usus kecil, di usus ini nanti larva akan menjadi dewasa
8:Cacing dewasa perempuan yang berada di usus kecil akan mengeluarkan telur (9)
9:Telur akan menetas hingga muncul cacing fase rabditiform (1)
! Autoinfeksi : Meskipun sebagian besar cacing rabditiform
ini akan keluar melalui feses, beberapa cacing yang tidak keluar di
feses akan berkembang kembali menjadi fase filariform dan menyebabkan
infeksi di usus kecil. Inilah yang sering menyebabkan infeksi laten pada
pasien yg terkena Strongyloides. Artinya, setelah keluar dari daerah
endemik selama berpuluh-puluh tahun, tiba-tiba seseorang terkena infeksi
cacing strongyloides lagi, bisa jadi infeksi tersebut disebabkan oleh
Autoinfeksi ini.
Secara lebih jelas, beberapa fase cacing strongyloides dapat dilihat dibawah:
Larva Rabditiform
Larva rabditiform adalah larva yang
umumnya terdapat di dalam tanah atau di usus kecil. Larva rabditiform
memiliki beberapa komponen tubuh yaitu:
1)Genital primordium : Bagian tubuh yang berguna dalam perkembangan seksual larva (panah biru)
2)Esofagus : panah merah
3)buccal canal: Mulut larva rabditiform (panah hijau)
Larva Filariform
Larva fase filariform atau dikenal dengan nama (L3) adalah fase infeksius dari S.stercoralis.
Pada pasien yg mengalami penurunan
kemampuan sistem imun, maka dikenal suatu kondisi yang disebut dengan
“Sindrom HIPERINFEKSI”. Penurunan sistem imun paling sering terjadi pada
pasien yang menkonsumsi kortikosteroid dalam dosis tinggi. Sindrom
hiperinfeksi ini adalah suatu keadaan dimana larva S.stercoralis
ditemukan dalam jumlah yang besar di hampir seluruh bagian tubuh pasien.
Mengapa terjadi sindrom hiperinfeksi? Simaklah penjelasan berikut:
Kita ingat pada penjelasan
sebelumnya bahwa pada ulat S.Stercoralis dapat terjadi perubahan bentuk
dari larva rabditiform menjadi larva filariform yang disebut dengan
“Autoinfeksi” selama dalam tubuh mansuia. Pada praktikum parasitologi
kita telah mempelajari bahwa larva filariform adalah jenis larva yang
dapat menembus tubuh manusia (stadium infeksi larva S.Stercoralis). Oleh
karena itu, larva filariform ini juga dapat menembus organ-organ yang
terdapat di dalam manusia seperti paru-paru, usus, dan pembuluh darah.
Maka, stadium filariform ini akan menembus “barrier-barrier” yang ada di
tubuh manusia seperti epitelium usus, paru-paru sehingga menimbulkan
gejala hiperinfeksi.
Sebagai ilustrasi, gambar disamping menunjukan sindrom hiperinfeksi yang terdapat dalam usus kecil pasien. Dapat dilihat bahwa larva filariform menembus dinding usus dan masuk kedalam jaringan usus, bahkan beberapam asuk kedalam pembuluh darah. Hal ini yang disebut dengan hiperinfeksi
Sebagai ilustrasi, gambar disamping menunjukan sindrom hiperinfeksi yang terdapat dalam usus kecil pasien. Dapat dilihat bahwa larva filariform menembus dinding usus dan masuk kedalam jaringan usus, bahkan beberapam asuk kedalam pembuluh darah. Hal ini yang disebut dengan hiperinfeksi
Reaksi Sistem Imun Mukosa Sistem Pencernaan terhadap cacing Strongyloides
Untuk mengetahui reaksi imun yang terdapat pada mukosa
sistem pencernaan terhadap cacing Strongyloides sp peneliti menggunakan
tikus dan badan manusia sebagai model. Pada tikus, diketahui bahwa sel
T-helper 2 menghasilkan IL-13 yang akan merangsang kerja sel goblet
untuk mengeluarkan cairan dan juga produksi mast cell yang tinggi.
Aktivitas sel goblet dan mast cell ini nanti bertujuan untuk
mengeluarkan cacing dari sistem pencernaan.
Reaksi di tubuh manusia berbeda dengan yang terjadi di
tikus. Apabila di tikus usus akan aktif mengeluarkan sel mast dan juga
mengaktifkan kerja sel goblet untuk mengusir cacing. Di tubuh manusia
tidak ada reaksi yang berarti pada sel-sel imunnya. Sehingga tidka ada
perubahan morfologis sistem pencernaan, sel T, mast cell dan sebagainya.
Hal ini yang menjelaskan mengapa pada kasus infeksi S.stercoralis
arsitektur histologis sistem pencernaan tidak banyak berubah dan diare
yang disebabkan oleh sistem imun jarang terjadi.
Sel T-Helper 2 memiliki peranan yang spesial dalam reaksi
imun terhadap S.stercoralis, diagram ini menjelaskan tentang fungsi
T-Helper 2
|
|||
|
|||
|
||||
|
Apa yang terjadi pada keadaan Strongyloidiasis parah?
Pada keadaan Strongyloidiasis parah
dibandingkan dengan keadaan strongyloidiasis asymptomatic biasanya
terdapat perbedaan kadar IgA, IgG dan IgM. IgM EFEKTIF untuk larva
filariform infeksi primer namun tidak infeksi untuk larva filariform
hasil autoinfeksi (perubahan dari larva rhabditiform didalam tubuh
manusia). Mengapa begitu? karena karakteristik antigen kedua larva ini
berbeda. Untuk larva filariform hasil autoinfeksi, kita biasanya
menggunakan eosinofil. Namun, eosinofil tidak akan melindungi tubuh
manusia secara penuh dari infeksi Strongyloidiasis kelas berat ini.
Bagaimana mendiagnosis Strongyloidiasis stercoralis?
Diagnosis dari S.S biasanya didapat dari larva stadium
Rhabitiform dalam feses. Feses dianalisa menggunakan staining Harada
Mori. Dapat dilakukan juga aspirasi dari duodenum.
Parasit 2: Cryptosporidium parvum
Cryptosporidium parvum adalah
protozoa dari golongan coccidia yang menyebabkan penyakit
cryptosporodiosis, penyakit yang muncul biasanya muncul dengna diare
yang sangat berat (10-15 L) diikuti dengan rasa mual, muntah dan rasa
sakit yang berlebihan pada perut. Umumnya penyakit cryptosporidiosis ini
menyerang anak-anak, orang tua, orang dengan infeksi lain dan juga
orang yang sedang melakukan terapi immunosupresif.
Pada pasien dengan status imun yang baik, umumnya
cryptosporodiasis ini tidak mengakibatkan gejala klinik yang signifikan
biasanya infeksi akan reda sendiri setelah 7 sampai 10 hari. Pada pasien
yang memiliki keadaan sistem imun yang kurang baik terutama pasda
pasien yg sudah masuk dalam tahap AIDS dimana sistem imunya sudah hampir
tidak berfungsi maka pasien akan sangat berisiko terkena LIFE
THREATENING DIARRHEA –> diare yg dpt menyebabkan kematian :O
Siklus Hidup
Siklus hidup “sederhana”
Sebetulnya, yang paling penting dari siklus hidup
cryptosporidium adalah oocyst cryptosporidium yang berdinding keluar
dari tubuh melalui feses (1). Setelah itu akan mengkontaminasi air baik
itu air konsumsi maupun air untuk rekreasi (2) dan oocyst akan tertelan
oleh induk. (3)
Apa yang terjadi setelah oocyst masuk?
Setelah oocyst masuk kedalam tubuh, akan terjadi
proses yang disebut eksitasi. Sporozoit akan keluar dari oocyst dan akan
menempel pada sel-sel epithelium. Jaringan yang memiliki sel epithelium
mencakup sistem gastro dan juga respi. Didalam epithelium, parasit akan
mengalami siklus aseksual yang disebut skizogoni dan juga merogony.
Setelah itu akan terjadi multiplikasi seksual (gametogoni) yang akan
menghasilkan microgamont dan juga macrogamont. Mikrogramont akan
menfertilisasi makrogamot. Setelah fertilisasi, Oocyst akan terbentuk,
ada oocyst yang berdinding tebal dan oocyst yang berdinding tipis.
Oocyst yang berdinding tebal akan dikeluarkan dari tubuh sedangkan
oocyst yang berdinding tipis akan keluar dari tubuh induk dan akan
mengalami autoinfeksi.
Reaksi Tubuh terhadap Cryptosporidium Pavum
Umumnya cryptosporidium Pavum hanya menyerang
permukaan sel epithelium parasit inang, tidak menyerang masuk kedalam
mukosa sistem pencernaan. Biasanya akan terjadi reaksi inflammasi pada
bagian lamina propria mukosa sistem pencernaan. Dibawah ini gambar
lamina propria.
Resistensi terhadap Infeksi
Setelah tubuh terinfeksi C.Parvum, maka tentunya
tubuh akan mencoba melawan. Perlawanan akan dipimpin oleh IFN-gamma.
Sel-sel sistem pencernaan yang diserang oleh C. parvum akan menghasilkan
sitokin IL-8, GRO-alfa dan RANTES) yang akan menyebabkan inflamasi
sistem pencernaan. Beberapa sekresi lain dari C.parvum seperti PGE2 dan
beta defensin akan membantu mempertahankan epitelium sistem pencernaan.
Resistensi terhadap infeksi:peran immunitas humoral
Pada keadaan diare, akan terdeteksi IgG, IgM dan IgA
(yang merupakan immunoglobulin yang biasa dideteksi pada sistem
pencernaan). Pada infeksi akut, biasanya IgM anti cryptosporidium akan
didapatkan setelah pemeriksaan. Peningkatan IgG biasanya digunakan untuk
menyatakan bahwa pasien pernah terpapar pada cryptoccocus dan memiliki
nilai diagnostik yang rendah pada daerah endemis. Biasanya penggunaan
antibodi ini jarang digunakan untuk diagnosis.
Resistensi terhadap infeksi:peran immunitas selular
Pada model tikus, setelah oocyst masuk tubuh tikus.
Pada hari ke 3-5, tikus yang tidak memiliki MHC class 2 akan jauh lebih
rentan dibandingkan tikus yang kekurangan MHC class 1 ataupun tikus yang
sehat.
Pada manusia, kadar CD4 pada manusia sangat penting
untuk mengetahui apakah manusia dapat sembuh dari infeksi C.parvum
.Kemampuan manusia untuk membunuh parasit akut dan kronik diketahui
sangat tergantung dari tingkat kadar CD4 dalam darah. Selain CD4,
sitokin TH1 sangat penting dalam mencegah inisiasi dan infeksi dari
parasit pada pasien.
Pada pasien HIV, HIV akan menginfeksi sel-sel CD4
yang terdapat pada GALT (GALT adalah kumpulan sistem imun yang terdapat
dalam saluran pencernaan). Hal ini menyebabkan rusaknya jaringan tubuh
dan parasit dapat masuk kedalam tubuh manusia.
Bagaimana mendiagnosis C.Parvum?
Analisa feses dapat dilakukan untuk
menemukan oocyst pada feses. Analisa enzim juga dapat digunakan terutama
untuk skrining sampel yang baik. Metode Rapid immunochromatoraphic juga
dapat digunakan terutama pada sediaan awetan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar