Materi

27.10.14

Tentir Infeksi Opportunistik

Apa itu Infeksi Opportunistik?
                Infeksi opportunistik adalah infeksi pada individu yang mengalami penurunan keadaan imun. Sehingga, bakteri/parasit/virus yang pada keadaan normal tidak mengakibatkan keadaan klinik apa-apa akan mengakibatkan manifestasi klinis penyakit. Seorang dokter harus mencurigai timbulnya infeksi opportunistik apabila pasien yang ditanganinya adalah pasien yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh. Keadaan apasajakah yang menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh? Marilah kita mengenalnya lebih dekat
Immunodefisiensi
                Secara umum, ada dua pembagian utama dari keadaan-keadaan immunodefisiensi: immunodefisiensi yang didapat dan immunodefisiensi congenital (dari lahir). Immunodefisiensi congenital artinya ada suatu kelainan bawaan tertentu yang menyebabkan sistem imun pasien tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah DiGeorge Syndrome dimana terjadi delesi pada kromosom 22q11.2 sehingga timus menjadi hipoplastik. Timus penting untuk maturasi limfosit T-sel sehingga akhirnya sel limfosit T yang beredar di seluruh tubuh adalah yang imatur.
                Selain immunodefisiensi kongenital, ada juga penurunan sistem imun yang didapat. Artinya, ada suatu kejadian yang menyebabkan timbulnya penurunan sistem kekebalan tubuh ini. Sangat banyak faktor yang dapat menyebabkan immunodefisiensi jenis ini seperti infeksi, komplikasi dari terapi lain. Pada tentir ini kita akan membahas dua penyebab immunodefisiensi yang penting yaitu: infeksi virus HIV dan obat-obatan.
                Pada infeksi HIV, virus akan menyerang reseptor CD4 pada sel limfosit, makrofag dan sel dendritik. Lumpuhnya sel-sel diatas yang sangat penting bagi pertahanan tubuh akan menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang menurun ini pada akhirnya akan mendorong timbulnya berbagai infeksi oportunistik pada pasien.
                Penggunaan obat-obatan yang menyebabkan penurunan kekebalan tubuh disebut Iatrogenic (Iatros= bahasa yunani untuk DOKTER)  immunodeficiency. Obat-obatan antiinflamasi seperti kortikosteroid mapun cyclosporin akan mengurangi reaksi inflamasi sehingga akan mengurangi daya tahan tubuh. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan turunnya kekebalan tubuh adalah obat-obatan kemoterapi. Obat-obatan kemoterapi menyasar sel-sel yang dapat membelah dengan cepat (Ingat, sel kanker adalah sel yang membelah dengan kecepatan sangat tinggi). Salah satu sel yang membelah dengan kecepatan tinggi di dalam tubuh adalah prekursor dari sel darah putih. Oleh karena itu, jumlah sel darah putih akan berkurang dalam tubuh sehingga menyebabkan immunodefisiensi.
                Tentunya, selain infeksi virus dan juga penggunaan obat-obatan ada juga penyebab lain dari immunodefisiensi seperti faktor malnutrisi dimana pada konsumsi protein yang sedikit akan menyebabkan penurunan kemampuan maturasi dan fungsi kerja dari limfosit. Selain itu, pada pasien yang mengalami splenektomi –> pengambilan dari spleen akan menyebabkan fungsi fagositosis dari sel darah putih akan menurun.
Infeksi Opportunistik yang disebabkan oleh parasit
                Di tentir sebelumnya, kita sudah membahas infeksi opportunistik yang disebabkan oleh agen etiologi lain seperti bakteri dan juga virus. Pada tentir ini, kita akan membahas tentang infeksi opportunistik yang disebabkan oleh parasit. Mengapa infeksi yang disebabkan oleh parasit ini berbeda dengan infeksi yang lainnya? infeksi oportunistik yang disebabkan parasit biasanya menyebabkan gejala-gejala klinis yang lebih parah dan memiliki efek jangka panjang yang lebih berbahaya. Dua parasit yang akan kita pelajari hari ini adalah : Strongyloides stercoralis dan Cryptosporidium parvum
1.Strongyloides stercoralis

            Strongyloides stercoralis adalah nematoda yang merupakan parasit pada manusia. Parasit ini memiliki habitat pada usus kecil manusia.Selain S. stercoralis, ada spesies-spesies lain yang menginfeksi usus halus hewan-hewan mamalia seperti S. canis dan S.fuellebomi. Namun, pada tentir ini kita hanya akan membahas S.stercoralis karena merupakan satu2nya yg menginfeksi manusia.
Daur Hidup S.stercoralis
1: Larva rabditiform dijumpai di tanah dan merupakan larva S. stercoralis yang umumnya dijumpai di feses.
2: Larva rabditiform akan berkembang menjadi larva dewasa dimana larva dewasa akan memproduksi telur (3)
3:Telur dewasa akan dihasilkan dari cacing betina.
4:Larva rhabditiform akan muncul dari telur
5:Larva rhabditiform akan berkembang menjadi stadium filariform.
6:Larva filariform akan menembus kulit dan menyebabkan infeksi
7:Larva filariform akan bergerak ke usus kecil, di usus ini  nanti larva akan menjadi dewasa
8:Cacing dewasa perempuan yang berada di usus kecil akan mengeluarkan telur (9)
9:Telur akan menetas hingga muncul cacing fase rabditiform (1)
! Autoinfeksi : Meskipun sebagian besar cacing rabditiform ini akan keluar melalui feses, beberapa cacing yang tidak keluar di feses akan berkembang kembali menjadi fase filariform dan menyebabkan infeksi di usus kecil. Inilah yang sering menyebabkan infeksi laten pada pasien yg terkena Strongyloides. Artinya, setelah keluar dari daerah endemik selama berpuluh-puluh tahun, tiba-tiba seseorang terkena infeksi cacing strongyloides lagi, bisa jadi infeksi tersebut disebabkan oleh Autoinfeksi ini.
Secara lebih jelas, beberapa fase cacing strongyloides dapat dilihat dibawah:
Larva Rabditiform
            Larva rabditiform adalah larva yang umumnya terdapat di dalam tanah atau di usus kecil. Larva rabditiform memiliki beberapa komponen tubuh yaitu:
1)Genital primordium : Bagian tubuh yang berguna dalam perkembangan seksual larva (panah biru)
2)Esofagus : panah merah
3)buccal canal: Mulut larva rabditiform (panah hijau)

 Larva Filariform
            Larva fase filariform atau dikenal dengan nama (L3) adalah fase infeksius dari S.stercoralis.

Stadium dewasa

Syndrom Hyperinfeksi S.Stercoralis
            Pada pasien yg mengalami penurunan kemampuan sistem imun, maka dikenal suatu kondisi yang disebut dengan “Sindrom HIPERINFEKSI”. Penurunan sistem imun paling sering terjadi pada pasien yang menkonsumsi kortikosteroid dalam dosis tinggi. Sindrom hiperinfeksi ini adalah suatu keadaan dimana larva S.stercoralis ditemukan dalam jumlah yang besar di hampir seluruh bagian tubuh pasien.
            Mengapa terjadi sindrom hiperinfeksi? Simaklah penjelasan berikut:
            Kita ingat pada penjelasan sebelumnya bahwa pada ulat S.Stercoralis dapat terjadi perubahan bentuk dari larva rabditiform menjadi larva filariform yang disebut dengan “Autoinfeksi” selama dalam tubuh mansuia. Pada praktikum parasitologi kita telah mempelajari bahwa larva filariform adalah  jenis larva yang dapat menembus tubuh manusia (stadium infeksi larva S.Stercoralis). Oleh karena itu, larva filariform ini juga dapat menembus organ-organ yang terdapat di dalam manusia seperti paru-paru, usus, dan pembuluh darah. Maka, stadium filariform ini akan menembus “barrier-barrier” yang ada di tubuh manusia seperti epitelium usus, paru-paru sehingga menimbulkan gejala hiperinfeksi.
Sebagai ilustrasi, gambar disamping menunjukan sindrom hiperinfeksi yang terdapat dalam usus kecil pasien. Dapat dilihat bahwa larva filariform menembus dinding usus dan masuk kedalam jaringan usus, bahkan beberapam asuk kedalam pembuluh darah. Hal ini yang disebut dengan hiperinfeksi




Reaksi Sistem Imun Mukosa Sistem Pencernaan terhadap cacing Strongyloides
            Untuk mengetahui reaksi imun yang terdapat pada mukosa sistem pencernaan terhadap cacing Strongyloides sp peneliti menggunakan tikus dan badan manusia sebagai model. Pada tikus, diketahui bahwa sel T-helper 2 menghasilkan IL-13 yang akan merangsang kerja sel goblet untuk mengeluarkan cairan dan juga produksi mast cell yang tinggi. Aktivitas sel goblet dan mast cell ini nanti bertujuan untuk mengeluarkan cacing dari sistem pencernaan.
            Reaksi di tubuh manusia berbeda dengan yang terjadi di tikus. Apabila di tikus usus akan aktif mengeluarkan sel mast dan juga mengaktifkan kerja sel goblet untuk mengusir cacing. Di tubuh manusia tidak ada reaksi yang berarti pada sel-sel imunnya. Sehingga tidka ada perubahan morfologis sistem pencernaan, sel T, mast cell dan sebagainya. Hal ini yang menjelaskan mengapa pada kasus infeksi S.stercoralis arsitektur histologis sistem pencernaan tidak banyak berubah dan diare yang disebabkan oleh sistem imun jarang terjadi.
            Sel T-Helper 2 memiliki peranan yang spesial dalam reaksi imun terhadap S.stercoralis, diagram ini menjelaskan tentang fungsi T-Helper 2

       
 
IL-4 :
Produksi IgE
Aktivasi sel mast
   
IL-5 :
Innate immunity –> Eosinofil
Adaptive immunity –> IgM

 







       











       
   
Spesifik IgE:
Immunodiagnosis (belum diketahui) >_>
 
 
ADCC (antibody mediated cell cytoxicity):
IgE mengaktifkan eosinofil
IgG mengaktifkan neutrofil







Apa yang terjadi pada keadaan Strongyloidiasis parah?
            Pada keadaan Strongyloidiasis parah dibandingkan dengan keadaan strongyloidiasis asymptomatic biasanya terdapat perbedaan kadar IgA, IgG dan IgM. IgM EFEKTIF untuk larva filariform infeksi primer namun tidak infeksi untuk larva filariform hasil autoinfeksi (perubahan dari larva rhabditiform didalam tubuh manusia). Mengapa begitu? karena karakteristik antigen kedua larva ini berbeda. Untuk larva filariform hasil autoinfeksi, kita biasanya menggunakan eosinofil. Namun, eosinofil tidak akan melindungi tubuh manusia secara penuh dari infeksi Strongyloidiasis kelas berat ini.
Bagaimana mendiagnosis Strongyloidiasis stercoralis?
            Diagnosis dari S.S biasanya didapat dari larva stadium Rhabitiform dalam feses. Feses dianalisa menggunakan staining Harada Mori. Dapat dilakukan juga aspirasi dari duodenum.

Parasit 2: Cryptosporidium parvum
                Cryptosporidium parvum adalah protozoa dari golongan coccidia yang menyebabkan penyakit cryptosporodiosis, penyakit yang muncul biasanya muncul dengna diare yang sangat berat (10-15 L) diikuti dengan rasa mual, muntah dan rasa sakit yang berlebihan pada perut. Umumnya penyakit cryptosporidiosis ini menyerang anak-anak, orang tua, orang dengan infeksi lain dan juga orang yang sedang melakukan terapi immunosupresif.
                Pada pasien dengan status imun yang baik, umumnya cryptosporodiasis ini tidak mengakibatkan gejala klinik yang signifikan biasanya infeksi akan reda sendiri setelah 7 sampai 10 hari. Pada pasien yang memiliki keadaan sistem imun yang kurang baik terutama pasda pasien yg sudah masuk dalam tahap AIDS dimana sistem imunya sudah hampir tidak berfungsi maka pasien akan sangat berisiko terkena LIFE THREATENING DIARRHEA –> diare yg dpt menyebabkan kematian :O
               
Siklus Hidup
Siklus hidup “sederhana”
                Sebetulnya, yang paling penting dari siklus hidup cryptosporidium adalah oocyst cryptosporidium yang berdinding keluar dari tubuh melalui feses (1). Setelah itu akan mengkontaminasi air baik itu air konsumsi maupun air untuk rekreasi (2) dan oocyst akan tertelan oleh induk. (3)
Apa yang terjadi setelah oocyst masuk?
                Setelah oocyst masuk kedalam tubuh, akan terjadi proses yang disebut eksitasi. Sporozoit akan keluar dari oocyst dan akan menempel pada sel-sel epithelium. Jaringan yang memiliki sel epithelium mencakup sistem gastro dan juga respi. Didalam epithelium, parasit akan mengalami siklus aseksual yang disebut skizogoni dan juga merogony. Setelah itu akan terjadi multiplikasi seksual (gametogoni) yang akan menghasilkan microgamont dan juga macrogamont. Mikrogramont akan menfertilisasi makrogamot. Setelah fertilisasi, Oocyst akan terbentuk, ada oocyst yang berdinding tebal dan oocyst yang berdinding tipis. Oocyst yang berdinding tebal akan dikeluarkan dari tubuh sedangkan oocyst yang berdinding tipis akan keluar dari tubuh induk dan akan mengalami autoinfeksi.
Reaksi Tubuh terhadap Cryptosporidium Pavum
                 Umumnya cryptosporidium Pavum hanya menyerang permukaan sel epithelium parasit inang, tidak menyerang masuk kedalam mukosa sistem pencernaan. Biasanya akan terjadi reaksi inflammasi pada bagian lamina propria mukosa sistem pencernaan. Dibawah ini gambar lamina propria.

Resistensi terhadap Infeksi
                Setelah tubuh terinfeksi C.Parvum, maka tentunya tubuh akan mencoba melawan. Perlawanan akan dipimpin oleh IFN-gamma. Sel-sel sistem pencernaan yang diserang oleh C. parvum akan menghasilkan sitokin IL-8, GRO-alfa dan RANTES) yang akan menyebabkan inflamasi sistem pencernaan. Beberapa sekresi lain dari C.parvum seperti PGE2 dan beta defensin akan membantu mempertahankan epitelium sistem pencernaan.
Resistensi terhadap infeksi:peran immunitas humoral
                Pada keadaan diare, akan terdeteksi IgG, IgM dan IgA (yang merupakan immunoglobulin yang biasa dideteksi pada sistem pencernaan).  Pada infeksi akut, biasanya IgM anti cryptosporidium akan didapatkan setelah pemeriksaan. Peningkatan IgG biasanya digunakan untuk menyatakan bahwa pasien pernah terpapar pada cryptoccocus dan memiliki nilai diagnostik yang rendah pada daerah endemis. Biasanya penggunaan antibodi ini jarang digunakan untuk diagnosis.
Resistensi terhadap infeksi:peran immunitas selular
                Pada model tikus, setelah oocyst masuk tubuh tikus. Pada hari ke 3-5, tikus yang tidak memiliki MHC class 2 akan jauh lebih rentan dibandingkan tikus yang kekurangan MHC class 1 ataupun tikus yang sehat.
                Pada manusia, kadar CD4 pada manusia sangat penting untuk mengetahui apakah manusia dapat sembuh dari infeksi C.parvum .Kemampuan manusia untuk membunuh parasit akut dan kronik diketahui sangat tergantung dari tingkat kadar CD4 dalam darah. Selain CD4, sitokin TH1 sangat penting dalam mencegah inisiasi dan infeksi dari parasit pada pasien.
                Pada pasien HIV, HIV akan menginfeksi sel-sel CD4 yang terdapat pada GALT (GALT adalah kumpulan sistem imun yang terdapat dalam saluran pencernaan). Hal ini menyebabkan rusaknya jaringan tubuh dan parasit dapat masuk kedalam tubuh manusia.
Bagaimana mendiagnosis C.Parvum?
                Analisa feses dapat dilakukan untuk menemukan oocyst pada feses. Analisa enzim juga dapat digunakan terutama untuk skrining sampel yang baik. Metode Rapid immunochromatoraphic juga dapat digunakan terutama pada sediaan awetan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar