Di negara tropis seperti Indonesia,
malaria masih merupakan penyebab kematian akibat parasit yang tertinggi.
Seperti kita ketahui, tingkat keparahan dari penyakit malaria sangat
tergantung dari spesies malaria apa yang menginfeksi tubuh manusia. Dari
empat spesies yang sering dijumpai di Indonesia: Plasmodium falciparum,
Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale. Penelitian
yang dilakukan World Health Organization (WHO) menunjukan bahwa
Plasmodium falciparum adalah spesies dari parasit malaria yang paling
sering menimbulkan komplikasi di organ lain seperti di otak.
Secara umum, gejala-gejala yang
diderita oleh pasien malaria tidak spesifik yaitu: pusing, rasa lelah,
sakit perut dan juga nyeri sendi. Biasanya gejala-gejala ini akan
disertai oleh panas, badan yang menggigil, keringat yang berlebihan dan
juga tidak nafsu makan. Gejala-gejala klinik akan berhenti disini
apabila pasien terinfeksi oleh spesies malaria non-Plasmodium
falciparum. Namun, pada Plasmodium falciparum yang tidak diobati secara
baik, gejala-gejala kilnik ini akan terus meningkat dan akan timbul
komplikasi.
Tujuan dari pengobatan ini adalah
untuk mencegah kematian. Seperti kita ketahui, apabila tidak dirawat
segera maka risiko pasien untuk mati sangatlah besar. Selain itu, dokter
harus mencegah defisit neurologis yang pasti akan muncul pada pasien
yang mengalami malaria dengan komplikasi. Hal ini berbeda dengan tujuan
pengobatan pada malaria biasa dimana tujuan pengobatan utamanya adalah
mengurangi komplikasi malaria secepatnya.
Menurut WHO Guidelines for the
Treatment of Malaria, pada kasus malaria falciparum ini, langkah pertama
yang harus dilakukan dokter adalah menegakan diagnosis pasien.
Menegakan diagnosis ini dapat dilakukan dengan dua cara: pertama adalah
dengan mengamati gejala-gejala klinik yang dialami oleh pasien seperti
tingkat kesadaran, kejang-kejang, bernafas secara sangat dalam
(pernafasan asidosis), tekanan darah sistolik dibawah 70 mmHg dan
pendarahan spontan. Selain itu, ada juga hasil laboratorium yang harus
kita perhatikan seperti hipoglikemia, asidosis metabolik dan juga
ditemukannya parasit malaria didalam darah.
Berbeda dengan paham yang telah
dianut oleh praktisi medis yang masih meyakini bahwa penggunaan obat
kelas alkaloid kinkona seperti quinine dan quinidine adalah yang terbaik
bagi kasus malaria falciparum, pada guidelines terbaru WHO ini, WHO
memutuskan bahwa pengobatan terbaik bagi malaria dengan komplikasi ini
adalah penggunaan obat yang tergolong sebagai derivatif Artemisin yaitu
artesunate dengan pemberian intravena. Menurut penelitian, penggunaan
artesunate intravena dapat mengurangi risiko kematian akibat malaria
sebesar 48%, risiko hipoglikemia yang lebih rendah daripada menggunakan
quinine. Meskipun terdapat kemajuan yang baik dalam mengurangi risiko
kematian dan hipoglikemia, penggunaan derivatif Artemisin ini tidak
mengurangi risiko kerusakan neruologis jangka panjang dari pasien.
Selain itu, penggunaan artesunate dapat menghilangkan salah satu hal
yang paling merepotkan dokter yaitu pada penggunaan obat quinine
diperlukan infusi obat yang perlu dilakukan dari waktu ke waktu dan juga
pemonitoran keadaan jantung pasien untuk melihat apakah ada efek jangka
panjang dari penggunaan obat quinine terhadap jantung. Rekomendasi
penggunaan artesunate pada pasien malaria ini juga berlaku pada pasien
anak.
Apabila anda tidak dapat melakukan
pengobatan malaria secara tuntas oleh karena keterbatasan alat. Maka,
anda harus merujuk pasien ke rumah sakity ang memiliki obat malaria.
Namun, sebelum dilakukan pengobatan lebih baik kita memberikan obat
sementara yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi tubuh pasien
sebelum mendapatkan perawatan lebih lanjut dirumah. Obat-obat yang dapat
digunakan adalah artesunate rektal, quinine intramuskular, artesuante
intramuskular dan juga artemter intramuskular.
Setelah diobati, dokter harus
melakukan follow up terhadap pengobatan yang dilakukan. Dapat dilhat
apakah ada kemajuan dari kondisi umum pasien. Apabila terdapat perbaikan
dari kondisi umum pasien, obat-obatan dapat diganti menjadi obat anti
malaria oral seperti obat ACT (campuran dari artesuante, amodiaquine dan
artemeter plus) beserta antibiotik Doxycyline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar