Perkembangan Sistem Pemerintahan Struktur Birokrasi dan Sistem Hukum pada Masa Kolonial
1. Sistem pemerintahan kolonial
Pemerintahan
kolonial Belanda diawali dengan dibentuknya lembaga dagang VOC yang
memiliki pengurus terdiri atas tujuh belas orang yang disebut De Heeren
Zeventien (Dewan Tujuh Belas). Lembaga ini berpusat di negeri Belanda.
Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat
gubernur jenderal yang didampingi Dewan Hindia.
Dewan Hindia
(Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat
gubernur di daerah seperti Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur
jenderal bersama Dewan Hindia mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia
yang kekuasaannya tidak terbatas. Selain gubernur jenderal, diangkat
pula seorang direktur jenderal yang bertugas mengurusi perniagaan serta
mengurus perkapalan.
Setelah VOC
runtuh, Indonesia diperintah oleh Deandels, seorang yang pandai tetapi
diktator. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karisidenan yang
dikepalai oleh seorang perfect. Ia juga mendirikan pengawas keuangan
(Algemene Rekenkamer). Sikap otoriter Daendels menyebabkan banyak
peperangan dengan raja-raja daerah serta keburukan pemerintahannya,
sehingga ditarik kembali pulang ke negeri Belanda. Selanjutnya,
Indonesia jatuh ke tangan Inggris di bawah Raffles yang memiliki
kepribadian yang simpati dan liberalis.
Dalam
menjalankan pemerintahannya di Indonesia, Raffles didampingi oleh badan
penasihat (advisory council). Adapun tindakan yang diambilnya adalah :
a. membagi
Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan, setiap karesidenan dibagi dalam
distrik, setiap distrik terdapat divisi (kecamatan);
b. mengubah
sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi
sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat;
c. para penguasa pribumi dan para bupati dijadikan pegawai kolonial dan digaji.
2. Struktur birokrasi kolonial
Dalam rangka
politik Pax Nederlandica, Belanda banyak menggunakan tenaga pribumi
yang mampu mengerjakan administrasi pemerintahan, yang memiliki
keterampilan dan latihan kerja yang memadai dalam berbagai jenis
kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pribumi yang memiliki
kemampuan dan keterampilan maka didirikan sekolah untuk mendapat
pendidikan yang terampil dan berpengetahuan, agar nanti dapat
dipekerjakan pada kantor-kantor milik pemerintah kolonial.
Pusat
pemerintahan Belanda di Batavia membutuhkan banyak tenaga untuk
melaksanakan tugas guna mengikat hubungan dengan daerah-daerah di
seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, adanya perluasan hubungan
antara pemerintah kolonial di Batavia dengan negeri induknya, serta
dengan daerah-daerah di seluruh Nusantara, menuntut adanya
desentralisasi hubungan. Pemikiran yang demikian akhirnya mendorong
dibentuknya Volksraad pada tahun 1918 dengan tujuan agar hubungan dengan
rakyat Indonesia semakin lebih baik.
3. Sistem hukum
Pada tahun
1838, di negeri Belanda telah diundangkan hukum dagang dan hukum
perdata. Hal ini terdorong oleh adanya kegiatan perdagangan hasil bumi
orang-orang Belanda dengan perantara pedagang Cina. Politik hukum
pemerintahan kolonial Belanda dapat diperlihatkan dalam Pasal 131
Indische Staatsregeling yang menyangkut hukum orang-orang Indonesia.
Dalam pasal tersebut diatur bahwa hukum perdata dan dagang serta hukum
acara perdata dan pidana harus dimasukkan dalam kitab Undang-Undang.
Golongan bangsa Eropa harus menganut perundang-undangan yang berlaku di
negeri Belanda, sedangkan golongan bangsa Indonesia dan timur asing
dapat dikenakan ketentuan hukum orang Eropa apabila dikehendaki.
Pada tahun
1855 sebagian dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memuat hukum
kekayaan, begitu juga hukum dagang bagi orang-orang Cina. Selanjutnya,
pemerintah kolonial Belanda dalam membentuk kitab undang-undang bagi
orang Indonesia maka hukum adat selalu menjadi bahan pertimbangan hukum.
Menurut
peraturan pemerintah kolonial 1854 dan peraturan Hindia Belanda 1925,
bidang hukum dan peradilan Hindia Belanda dibagi atas dua bagian, yaitu
pengadilan gubernemen dan pengadilan pribumi. Pengadilan gubernemen
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial melalui pegawai pemerintahan
sesuai dengan aturan hukum, sedangkan pengadilan pribumi dilaksanakan
berdasarkan hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis.
Pada tahun
1819 didirikan Hoog Gerechtschof (Mahkamah Agung), yang kemudian
memiliki kekuasaan untuk mengawasi pengadilan di Jawa. Pada tahun 1869,
berdasarkan keputusan raja, para pegawai pamong praja dibebaskan dari
pengadilan pribumi. Pada tahun 1918 berlaku hukum pidana Hindia Belanda
yang didasarkan pada kitab Undang-Undang untuk pengadilan bagi orang
Eropa dan pribumi tidak ada perbedaan hukum.
Demikianlah Materi Perkembangan Sistem Pemerintahan Struktur Birokrasi dan Sistem Hukum pada Masa Kolonial, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar