Sejarah
Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia
adalah bahasa
resmi Republik Indonesia, namun hanya sebagian kecil
dari penduduk Indonesia
yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu. Untuk sebagian besar
lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua. Bahasa Indonesia ialah sebuah
dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi
Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia diresmikan
pada kemerdekaan Indonesia,
pada tahun 1945.
Bahasa Indonesia adalah bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan
kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah
dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku
dari bahasa Melayu.
Fonologi
dan tata bahasa
dari bahasa Indonesia cukuplah mudah, dasar-dasar yang penting untuk komunikasi
dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa
Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai pengantar pendidikan di
sekolah di Indonesia.
Bahasa Indonesia
adalah bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan
sebagai lingua franca di Nusantara
kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling
tidak dalam bentuk informalnya. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai
dengan istilah Melayu Pasar. Jenis
ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi
kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai
bahasa yang digunakan para penggunanya.
Bentuk yang lebih
formal, disebut Melayu Tinggi, pada
masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya
sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda
yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya.
Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di
antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai
Pustaka. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak
pedagang yang melewati Indonesia.
Penyebutan
pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun
yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah
raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa
Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah.
Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di
dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan
wilayah itu dengan Sriwijaya.
Karena terputusnya
bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat
menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan
dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan
berkembangnya agama
Islam
dimulai dari Aceh
pada abad ke-14,
bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana
ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Melayu di Indonesia
kemudian digunakan sebagai lingua franca
(bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya
sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa
sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa
Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana,
pada Kongres Nasional kedua di Jakarta,
dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia
pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa
(yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih
Bahasa Indonesia
yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih
sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa
atau puak lain di Republik Indonesia
akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari
dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada
tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang
berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami
budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan
Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun
Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka
yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia
sebagai lingua franca, Bahasa Melayu
Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien,
Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya
terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain
Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih
Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa
Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan
kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi
(dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal
ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Mulanya Bahasa
Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan Belanda, hingga
tahun 1972 ketika Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa
serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Catatan:
Tahun 1949 "oe" sudah digantikan dengan "u".
Dibandingkan dengan
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak banyak menggunakan kata bertata bahasa dengan jenis kelamin. Sebagai
contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan
apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga
ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai
contohnya. Untuk menspesifikasi sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus
ditambahkan, "adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata
yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan
"putra". Kata-kata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain
(pada kasus di atas, kedua kata itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno).
Untuk mengubah
sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi
hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu
orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga
mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia
menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami"
dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata
dasar adalah Subjek - Predikat - Objek (SPO), walaupun susunan kata lain juga
mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada
orang atau jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala/waktu
(tense). Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu
(seperti, "kemarin" atau "besok"), atau indikator lain
seperti "sudah" atau "belum".
Dengan tata
bahasa yang cukup sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri,
yaitu pada penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang
pertama kali belajar bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar