Kebijakan Masa Penjajahan Belanda II di Indonesia
- Dengan Perjanjian London, Belanda memperoleh kembali jajahannya atas
Indonesia. Kemudian Belanda membentuk Komisaris Jenderal yang akan
melaksanakan kembali kekuasaan di Indonesia yang beranggotakan Elout,
Buyskes, dan Van der Capellen.
Namun oleh
Inggris, ada wilayah Indonesia yang tidak dikembalikan kepada Belanda,
yakni daerah Sumatra dan sekitarnya. Pada bulan Maret 1816, Raffles
menyerahkan kekuasaannya kepada John Fendall. Setelah itu, Raffles
segera menuju Singapura dan membangun kota Singapura (1819).
Singapura
dijadikan pusat pertahanan Inggris sampai Perang Dunia II. Sementara
itu, bekas wilayah kekuasaan Raffles diserahkan oleh John Fendall kepada
Komisaris Jenderal pada tanggal 19 Agustus 1816. Dengan demikian,
Indonesia sepenuhnya menjadi daerah kekuasaan Belanda dan diberi nama
Nederlands Indie (Hindia Belanda).
Kehadiran
Belanda kembali ke Indonesia banyak ditentang oleh rakyat dan raja-raja
daerah sebab pada masa lalu kekuasaan raja banyak dikurangi. Belanda
juga pernah melaksanakan monopoli dagang yang merugikan rakyat sehingga
menimbulkan rasa antipati rakyat terhadap Belanda. Kebencian ini lalu
menimbulkan gerakan anti penjajahan Belanda seperti perlawanan Thomas
Matulessi, Perang Diponegoro, Perang Padri dan lainnya.
a. Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Pada tahun
1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk
Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi,
kapas, dan kayu manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya
sistem tanam paksa.
Adapun
hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan tanam paksa, antara
lain, Belanda membutuhkan banyak dana untuk membiayai peperangan, baik
di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara
Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan
Belgia (1830-1839) yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan
diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar
utangutangnegara. Adapun pokok-pokok aturan tanam paksa sebagai
berikut.
1) Seperlima tanah penduduk wajib ditanami tanaman yang laku dalam perdagangan internasional/Eropa.
2) Tanah yang ditanami bebas pajak.
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
4) Hasil
tanaman perdagangan diserahkan kepada pemerintah dan jika harga yang
ditaksir melebihi pajak, kelebihan itu milik rakyat dan diberikan
cultuur procenten (hadiah karena menyerahkan lebih). Akibatnya, rakyat
saling berlomba untuk mendapatkannya.
5) Kegagalan tanaman/panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pelaksanaan
tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang
berakibat membawa kesengsaraan rakyat. Bentuk penyelewengan tersebut,
misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi),
kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi kekayaan
Indonesia yang dilakukan Belanda.
Melihat
penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar tanam
paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama
musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi
membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih
dibebani pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan rakyat
habis untuk membayar pajak. Akibatnya, rakyat tidak mampu mencukupi
kebutuhan sehari-hari sehingga kelaparan terjadi di mana-mana, seperti
Cirebon, Demak, dan Grobogan.
Sementara
itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar. Praktik
tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus
membayar utang-utang akibat banyak perang.
Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.
1) Eduard
Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya
berjudul Max Havelaar. Dalam tulisan tersebut, ia menggunakan nama
samaran Multatuli, artinya aku yang menderita.
2) Baron van
Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang agar tanam paksa
dihapuskan. Usahanya mendapat bantuan Menteri Keuangan Torbecke.
3) Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam paksa dihapuskan.
4) Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids.
Artikel
tersebut berisi, antara lain, Trilogi Van Deventer yang mencakup
edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Edukasi artinya mendirikan
sekolah-sekolah bagi pribumi dan akhirnya akan melahirkan kaum cerdik
pandai yang memelopori pergerakan nasional Indonesia. Irigasi artinya
mengairi sawah-sawah, namun pada praktiknya yang diairi hanya perkebunan
milik Belanda. Transmigrasi artinya memindahkan penduduk dari Pulau
Jawa ke luar Pulau Jawa, misalnya Sumatra. Namun praktiknya berubah
menjadi emigrasi, yaitu memindahkan penduduk Indonesia ke Suriname untuk
kepentingan perkebunan Belanda.
Akhirnya,
tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang
(Regrering Reglement) pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan.
Namun pada praktiknya, perbudakan baru dihapuskan pada tanggal 1 Januari
1860. Selanjutnya, pada tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan
(Comptabiliteits Wet) yang mewajibkan anggaran belanja Hindia Belanda
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, ada pengawasan
dari Badan Legislatif di Nederland.
Kemudian
pada tahun 1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah
(Agrarische Wet). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917.
Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan
Sumatra Barat dihapuskan.
b. Kolonial Liberal
Setelah
tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial
liberal di Indonesia dengan memberikan kebebasan pada pengusaha swasta
untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap
menyengsarakan rakyat karena kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
semata-mata untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap
melaksanakan cara-cara menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian,
perang, dan pemecah belah.
Pelaksanaan
politik kolonial liberal sering disebut Politik Pintu Terbuka (Opendeur
Politiek), yaitu membuka modal swasta asing untuk ditanamkan di
Indonesia. Dengan politik tersebut, Indonesia sebagai tempat untuk
mendapatkan bahan mentah, mendapatkan tenaga yang murah, tempat
pemasaran barang produk Eropa serta tempat penanaman modal asing. Modal
swasta Belanda serta modal bangsa Barat lainnya masuk ke Indonesia dan
ditanamkan ke dalam pertanian dan perkebunan sehingga perkebunan tebu
dan tembakau berkembang pesat.
Pembukaan
daerah perkebunan di luar Jawa seperti di Sumatra menjadi semakin luas,
sehingga membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu,
muncullah sistem kontrak (kuli kontrak). Untuk menjamin agar para kuli
tidak melarikan diri sebelum habis kontraknya, dikeluarkanlah peraturan
Koeli Ordonnantie yang berisi ancaman hukuman bagi para pekerja
perkebunan yang melanggar ketentuan.
Pelaksanaan
politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan penderitaan bagi
rakyat terutama buruh sebab upah yang mereka terima tidak seperti yang
tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang melarikan diri,
terutama dari Deli, Sumatra Utara.
Dari
kenyataan di atas jelas Belanda tetap masih melaksanakan usaha menindas
bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada hal-hal berikut.
1) Kegiatan
ekonomi baik perdagangan atau perkebunan tetap dimonopoli Belanda
walaupun dilaksanakan oleh kaum swasta Belanda sehingga tetap membawa
kesengsaraan rakyat Indonesia.
2) Belanda
melaksanakan politik mencari untung sendiri dengan mendirikan kongsi
angkatan laut Belanda (KLM) dan angkatan udara (KPM).
3) Lewat perjanjian dan perang untuk menindas segala bentuk perlawanan terhadap Belanda.
4) Banyak campur tangan di kalangan istana agar mudah memengaruhi para penguasa kerajaan.
Selanjutnya
pada awal abad ke-20, dari pihak Belanda mulai muncul sikap agak lunak,
bahkan pada tahun 1918, Van Limburg Stirum memberikan "Janji November"
yang isinya bahwa setelah Perang Dunia I, Indonesia akan diberi
kemerdekaan. Untuk itu lalu dibentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang
merupakan alat keikutsertaan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya.
Demikianlah Materi Kebijakan Masa Penjajahan Belanda II di Indonesia (Tanam Paksa dan Kolonial Liberal), semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar