Perlawanan terhadap Kolonial Belanda (Pattimura, Padri, Diponegoro, Aceh, Sisingamangaraja, Antasari dan Patih Jelantik)
1. Perlawanan Kapitan Pattimura (1817)
Tindakan
Belanda yang sewenang-wenang dan monopolinya yang merugikan menyebabkan
Pattimura berkewajiban membebaskan rakyat Saparua Maluku. Residen Van
den Berg menolak membayar harga perahu menurut kesepakatan.
Hal ini
berakibat menambah kemarahan rakyat. Pattimura yang juga dikenal dengan
nama Thomas Matulessi menyerbu benteng Duurstede dan berhasil
menguasainya dan residen Van den Berg terbunuh. Penggantinya ialah
Letkol Groot yang berpolitik licik serta berusaha memecah belah. Banyak
pemimpin yang ditangkapnya sehingga kekuatan semakin lemah.
Maka dalam
pertempuran selanjutnya, Pattimura beserta kawan-kawannya tertangkap dan
pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dijatuhi hukuman mati dengan
cara digantung di benteng New Victoria. Perjuangannya dibantu Christina
Martha Tiahahu.
2. Perlawanan Padri (1821-1837)
Gerakan
padri didirikan oleh tiga orang ulama, yakni Haji Miskin, Haji Piobang,
dan Haji Sumanik sepulang dari Tanah Suci. Ketiga ulama tersebut sangat
kecewa melihat kebiasaan masyarakat Minangkabau yang telah sangat jauh
dari ajaran Islam. Usaha mereka untuk memengaruhi masyarakat mendapat
perlawanan keras kaum adat hingga timbullah peperangan. Berikut
sebab-sebab timbulnya perang.
a. Adanya
perbedaan pendapat antara kaum ulama/padri dengan kaum adat. Kaum ulama
terpengaruh gerakan wahabi menghendaki ajaran agama Islam berdasarkan
al-quran dan Hadis.
b. Kaum ulama ingin memberantas kebiasan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyabung ayam, dan mabuk.
c. Perebutan pengaruh antara kaum adat dan kaum ulama.
Pertempuran
semula terjadi pada tahun 1825 di Minangkabau antara kaum adat dan kaum
ulama. Kaum ulama dipimpin oleh Imam Bonjol. Kaum adat kemudian minta
bantuan Belanda. Namun Belanda sedang terdesak, akibat perang menghadapi
Pangeran Diponegoro. Maka, Belanda mengajak berunding saja dan mengakui
batas wilayah kekuasaan kaum padri.
Sesudah
tahun 1830, Belanda mengobarkan perang antara kaum adat melawan kaum
padri, dalam hal ini Belanda membantu kaum adat. Semula pertempuran itu
terjadi, tetapi setelah kaum adat sadar akan bahaya Belanda, mereka
bergabung dengan kaum padri melawan Belanda sejak tahun 1832. Belanda di
bawah Van den Bosch menggunakan Sistem Benteng Stelsel dan dikirimlah
bantuan di bawah pimpinan Sentot Ali Basa Prawirodirjo yang kemudian
memihak kepada kaum padri. Sentot pun dibuang ke Cianjur. Kemudian
Belanda menyerang kota Bonjol dan mengadakan Perjanjian Plakat Panjang
(1833), yang isinya:
a. penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak atau kerja rodi,
b. Belanda akan menjadi penengah jika timbul perselisihan antarpenduduk,
c. perdagangan dilakukan hanya dengan Belanda, dan
d. penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.
Dengan
siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung benteng Bonjol pada tanggal 25
Oktober 1937 sehingga Imam Bonjol tertangkap dan dibuang ke Cianjur.
Pada tahun 1854, Imam Bonjol wafat di Manado.
3. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)
Sejak awal
abad ke-18 Belanda memperluas daerah kekuasaannya dan berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai
menyebar di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai
salah seorang pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro
tergerak untuk melakukan perlawanan.
a. Sebab-sebab umum
1) Rakyat menderita akibat pemerasan Belanda dengan menarik pajak.
2) Kaum bangsawan merasa dikurangi haknya, misalnya, tidak boleh menyewakan tanahnya.
3) Adanya
campur tangan Belanda di istana, misalnya dalam pengangkatan sultan,
mengubah tata cara istana, sajian sirih dihapus, dan orang Belanda duduk
sejajar dengan sultan.
b. Sebab-sebab khusus
Pembuatan
jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa seizin di
Tegalrejo dianggap merupakan penghinaan sehingga Pangeran Diponegoro
mengangkat senjata pada tanggal 20 Juli 1825.
c. Jalannya perang
Pembantu-pembantu
Pangeran Diponegoro adalah Kiai Mojo, Sentot Ali Basa Prawirodirjo, dan
Pangeran Mangkubumi. Pusat pergerakan ialah di Selarong. Sistem yang
dipergunakannya adalah perang gerilya dan perang sabil.
Pangeran
Diponegoro juga dianggap penyelamat negara dan seorang pemimpin yang
besar sehingga mendapat julukan "Sultan Abdul Hamid Erucokro
Amirulmukmin Syayidin Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawa". Pada saat itu,
Belanda dipimpin Jenderal De Kock yang mempergunakan cara:
1) siasat
Benteng Stelsel, di setiap daerah yang dikuasai didirikan benteng yang
mempersempit gerilya Pangeran Diponegoro sehingga pasukannya
terpecah-pecah;
2) mengangkat kembali Sultan Sepuh agar tidak dibenci oleh rakyat Mataram;
3) mempergunakan politik devide et impera.
Melihat
sistem Belanda yang cukup berbahaya ini, Pangeran Diponegoro memindahkan
markasnya ke Plered, Dekso, dan Pangasih. Daerah Pacitan dan Purwodadi
juga berhasil dipertahankan. Serdadu Belanda terus digempur oleh pasukan
Diponegoro sehingga 2.000 orang tentara Belanda tewas. Pada tahun 1828 –
1830 Pangeran Diponegoro menghadapi kesulitan-kesulitan berikut.
1) Tahun
1838 Kiai Mojo mengadakan perundingan dengan Belanda di Mangi, tetapi
gagal. Kiai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Minahasa dan tahun 1849
wafat lalu dimakamkan di Tondano.
2) Tahun 1839 Pangeran Mangkubumi menyerah karena sudah tua.
3) Tahun 1829 Sentot Prawirodirjo mengadakan perundingan dengan Belanda. Ia bersedia menyerah, asalkan menjadi pemimpin pasukan.
4) Tahun 1830 Pangeran Dipokusumo menyerahkan putra Pangeran Diponegoro.
Kenyataan
tersebut tidak melemahkan Pangeran Diponegoro. Ia terus berjuang, bahkan
Belanda sampai mengeluarkan sayembara: Apabila ada yang berhasil
menyerahkan Pangeran Diponegoro akan mendapat uang 20.000 ringgit.
Namun, tidak ada yang bersedia.
Akhirnya
Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret
1830 dan dibawa ke Batavia dengan kapal "Pollaz", terus diasingkan ke
Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar dan akhirnya wafat pada
tanggal 8 Januari 1855. Perang Diponegoro yang panjang membawa akibat
sebagai berikut.
1) Wilayah Mataram Yogyakarta dan Surakarta menjadi sempit, PB VI yang ikut melawan Belanda akhirnya dibunuh di Ambon (1830).
2) Belanda memperoleh daerah Surakarta – Yogyakarta sebagai daerah yang diperas kekayaannya.
3) Adanya sebagian cukai yang dihapus untuk mengurangi kerusuhan.
4. Perlawanan Aceh (1873-1904)
Perang Aceh
meletus pada tahun 1873 ketika terjadi pertentangan kepentingan politik
dan ekonomi antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda.
Belanda sudah memiliki keinginan untuk menguasai Aceh sejak tahun 1824,
saat itu Aceh terkenal sebagai penghasil separuh persediaan lada di
dunia. Kesempatan diperoleh ketika Inggris membiarkan Belanda menguasai
Aceh daripada jatuh ke tangan Amerika Serikat atau Prancis.
a. Sebab-sebab umum
1) Belanda melaksanakan Pax Nederlandica.
2) Aceh merupakan daerah yang strategis bagi pelayaran dan perdagangan yang menolak campur tangan Belanda.
3) Inggris tidak akan menghalangi jika Belanda memperluas daerah ke Sumatra.
b. Sebab khusus
Aceh menolak
terhadap penguasaan Belanda atas Sumatera, walaupun secara sepihak
Belanda telah mengeluarkan Traktat Sumatra (1871) (yang memberi hak
Belanda dapat berkuasa di Sumatera). Untuk menghadapinya, Aceh
bersahabat dengan Turki dan Amerika Serikat.
Di Aceh terdapat dua kelompok pemimpin rakyat.
1) Golongan
bangsawan yang berjiwa nasionalis (golongan teuku): Teuku Umar,
Dawotsyah, Panglima Polim, Muda Bae'et, dan Teuku Leungbata.
2) Golongan ulama (golongan tengku) dipimpin Tengku Tjik Di Tiro.
c. Jalannya perang
1) Masa permulaan (1873-1884)
Belanda
menyerang di bawah Kohler, tetapi Kohler sendiri tewas sehingga Belanda
menarik pasukannya. Pimpinan pasukan diganti oleh Van Swietten yang
berusaha membentuk pasukan jalan kaki (infateri), pasukan berkuda
(kavaleri), dan pembangunan militer (genie). Semangat rakyat Aceh tidak
kendor, bahkan Jenderal Van der Heyden tertembak sehingga buta (jenderal
buta).
2) Masa konsentrasi stelsel (1884-1896)
Pada masa
ini, Tengku Tjik Di Tiro gugur. Karena itu, Teuku Umar mengubah cara
dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda (tahun 1893). Belanda
memberi penghargaan berupa uang $18.000, 800 senjata, 250 tentara, dan
Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Hal itu hanya merupakan
siasat saja, Teuku Umar kembali menyerang Belanda bersama istrinya Tjoet
Nja'Dien. Belanda merasa sulit menundukkan Aceh sehingga memanggil Dr.
C. Snouck Hurgronje untuk meneliti budaya Aceh. Tersusunlah buku yang
berjudul De Atjeher.
3) Masa akhir perlawanan (1896-1904)
Pada tahun
1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Perjuangannya dilanjutkan Tjoet Nja'
Dien yang terus bergerilya. Karena Aceh sudah tidak berdaya, Belanda
mengeluarkan Plakat Pendek yang isinya:
a) Aceh mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra,
b) Aceh tidak akan berhubungan dengan negara asing, dan
c) Aceh akan menaati perintah Belanda.
5. Perlawanan Sisingamangaraja XII dari Tapanuli (1878-1907)
Sisingamangaraja
XII melawan Belanda di daerah Tapanuli di tepi Danau Toba. Penyebab
perlawanan ini adalah daerah Batak diperkecil oleh Belanda. Belanda
melaksanakan Pax Nederlandica. Tahun 1878 Sisingamangaraja XII menyerang
Belanda di Tarutung (tahun 1894). Belanda menyerang dan membakar daerah
pusat kerajaan Tapanuli (1907). Sisingamangaraja XII gugur bersama
putra-putrinya sehingga berakhirlah perjuangannya.
6. Perlawanan Banjar oleh Pangeran Antasari (1859-1863)
Pertempuran
ini terjadi karena Belanda banyak campur tangan di istana, banyak
perkebunan yang dikuasai Belanda, Belanda berusaha menguasai Kalimantan,
dan disingkirkannya pewaris takhta, Pangeran Hidayatullah, membawa
kemarahan rakyat yang terus berusaha melawan Belanda di bawah pimpinan
Pangeran Antasari. Namun perlawanan ini tidak berlangsung lama,
perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Muhamad Seman.
7. Perlawanan Patih Jelantik dari Bali
Patih Jelantik adalah patih Kerajaan Buleleng yang melawan Belanda. Sebab-sebab perlawanan sebagai berikut.
a. Hukum tawan karang adalah hak Raja Bali yang akan dihapus Belanda.
b. Raja harus melindungi perdagangan Belanda di Bali.
c. Belanda diizinkan mengibarkan bendera di Bali.
Adanya
aturan-aturan yang ditetapkan Belanda tersebut membuat Raja Bali merasa
diinjak-injak kekuasaannya oleh Belanda. Maka, dikobarkanlah perang
anti-Belanda Jalannya perang sebagai berikut.
a. Perang Buleleng 1846
Ini terjadi
karena Raja Buleleng merampas kapal Belanda sehingga terjadi pertempuran
dan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Kemudian raja menyingkir ke
benteng Jagaraga bersama Patih Jelantik.
b. Perang Jagaraga 1848
Dalam
pertempuran ini, Patih Jelantik bertahan di benteng tersebut. Tetapi,
akhirnya ada salah satu bagian yang berhasil dikuasai Belanda, namun
Patih Jelantik tetap bertahan.
c. Perang Jagaraga II
Belanda
dipimpin Michiels menyerang Kerajaan Klungkung. Jembrana, dan Buleleng
sehingga benteng Jagaraga berhasil direbut Belanda. Para raja lari ke
daerah selatan. Raja Karangasem dan Raja Buleleng akhirnya mengobarkan
perang puputan. Kerajaan Tabanan mengadakan pertempuran tahun 1906 yang
disebut Balikan Wongaya. Akhirnya, Bali dikuasai Belanda.
Demikianlah
Materi Perlawanan terhadap Kolonial Belanda, Pattimura Padri Diponegoro
Aceh Sisingamangaraja Antasari dan Patih Jelantik, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar