Kondisi Sosial dan Politik Indonesia Setelah 21 Mei 1998 - Perubahan kondisi sosial dan politik di Indonesia setelah bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian beberapa masalah yang ada.
Pemerintah
Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah menawarkan
pilihan kepada rakyat Timor Timur, yaitu pemberian otonomi khusus di
dalam Negara Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. Melalui
PBB sebagai mediasi dilakukanlah perundingan di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan tripartit
antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan jajak pendapat
mengenai status masa depan Timor Timur.
Hasil jajak
pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak menerima
otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus yang
ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari
Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat
Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap. MPR No.
V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus
1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman
lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada
terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era
reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan
memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut. Untuk lebih memberi
perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua.
Pemerintah
pusat juga memberi otonomi khusus pada wilayah Papua. Dengan demikian,
pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga Papua untuk
dapat lebih memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat
Papua sendiri. Meskipun begitu, masih saja terjadi usaha untuk
memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys H. Eluoy,
Ketua Presidium Dewan Papua.
Gerakan
Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada
tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI
dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti itu sebenarnya
tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di air
keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan
sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak
keras. Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi
khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi
khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik
pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok
Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka.
Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti
penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat, serta
terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang memihak
Indonesia.
Agar keadaan
tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR, akhirnya
melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan
di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap. Namun demikian,
operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil sehingga
diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak
politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di
Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di
Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing. Pada tanggal 12
Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W.
Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan
banyaknya teror bom memperburuk citra Indonesia di mata internasional
sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia.
Kondisi
politik Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan
tidak ditegakkannya hukum dan hak asasi manusia (HAM) sebagaimana
mestinya. Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang
menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah
terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak
percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian
pimpinan negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
Demikianlah Materi Kondisi Sosial dan Politik Indonesia Setelah 21 Mei 1998, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar