Penjelasan Pemerintahan Orde Baru dan Lahirnya Supersemar -
 Usaha melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen 
menjadi tujuan utama pembentukan pemerintahan Orde Baru. Namun, 
kehati-hatian pemerintah Orde Baru terhadap bahaya komunis menyebabkan 
peran negara sangat besar dan mendominasi kehidupan masyarakat.
1. Pengertian Orde Baru
Orde Baru 
adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara 
yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
 murni dan konsekuen. Dengan kata lain, Orde Baru adalah suatu orde yang
 mempunyai sikap dan tekad untuk mengabdi pada kepentingan rakyat dan 
nasional dengan dilandasi oleh semangat dan jiwa Pancasila serta UUD 
1945. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11
 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 
sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
2. Lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 ( Supersemar )
Pada tanggal
 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan Sidang Kabinet Dwikora yang 
telah disempurnakan yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dengan
 tujuan untuk mencari jalan keluar terbaik agar dapat menyelesaikan 
krisis yang memuncak secara bijak. Ketika sidang tengah berlangsung, 
ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang
 tidak dikenal. Untuk menghindari segala sesuatu yang tidak diinginkan, 
maka Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II 
(Wakil Perdana Menteri II) Dr J. Laimena. Dengan helikopter, Presiden 
Soekarno didampingi Waperdam I, Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul 
Saleh menuju Istana Bogor. Seusai sidang kabinet, Dr J. Laimena pun 
menyusul ke Bogor.
Pada hari 
itu juga, tiga orang perwira tinggi sepakat untuk menghadap Presiden 
Soekarno di Istana Bogor dengan tujuan untuk meyakinkan kepada Presiden 
Soekarno bahwa ABRI khususnya AD tetap siap siaga mengatasi keadaan. Di 
Istana Bogor Presiden Soekarno didampingi Dr Subandrio, Dr J. Laimena, 
dan Chaerul Saleh serta ketiga perwira tinggi tersebut melaporkan 
situasi di ibukota Jakarta. Mereka juga memohon agar Presiden Soekarno 
mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan.
Kemudian 
presiden mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan 
Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
 tindakan menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya 
pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. 
Adapun yang 
merumuskan surat perintah tersebut adalah ketiga perwira tinggi, yaitu 
Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir 
Jenderal Amir Machmud bersama Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan 
Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat itulah yang kemudian dikenal 
sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
3. Tindak Lanjut Supersemar
Sebagai 
tindak lanjut keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Letnan Jenderal 
Soeharto sebagai pengemban Supersemar segera mengambil tindakan untuk 
menata kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai 
dengan Pancasila dan UUD 1945, yaitu sebagai berikut.
a. Tanggal 
12 Maret 1966, dikeluarkanlah surat keputusan yang berisi pembubaran dan
 larangan PKI beserta ormas-ormasnya yang bernaung dan berlindung atau 
senada dengannya, beraktivitas dan hidup di seluruh wilayah Indonesia. 
Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti 
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tangal 12 Maret 1966. Keputusan 
pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan 
dari seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
b. Tanggal 
18 Maret 1966 pengemban Supersemar mengamankan 15 orang menteri yang 
dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya yang 
dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.
c. Tanggal 
27 Maret pengemban Supersemar membentuk Kabinet Dwikora yang 
disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yang duduk di 
dalam kabinet ini adalah mereka yang jelas tidak terlibat dalam G 30 
S/PKI.
d. 
Membersihkan lembaga legislatif dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS 
dan DPRGR yang diduga terlibat G 30 S/PKI. Sebagai tindak lanjut 
kemudian dibentuk pimpinan DPRGR dan MPRS yang baru. Pimpinan DPRGR baru
 memberhentikan 62 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan 
ormas-ormasnya.
e. 
Memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga 
pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS 
dibersihkan dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Seperti halnya dengan DPRGR, 
keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur. Sesuai dengan UUD 1945, 
MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga 
kepresidenan.
Tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut.
a. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b. Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
c. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
d. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e. Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap.MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.
f. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.
g. Ketetapan
 MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan 
Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.
Dengan 
berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan awal Orde Baru 
berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan rakyat 
(Tritura) telah dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet 
dari unsur-unsur PKI. 
Sementara 
itu, tuntutan ketiga, yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan 
bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat 
mewujudkannya perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus 
dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelaksanaan pembangunan agar 
lancar dan mencapai hasil maksimal memerlukan stabilitas nasional.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar