Materi

25.11.14

PROSA LAMA

PROSA LAMA

Prosa lama cenderung bersifat imajinatif, istanasentris, didaktif, anonim, dan bentuk serta isinya statis, sedangkan prosa baru bersifar realistis (melukiskan kenyataan sehari-hari), dinamis atau mengalami perubahan terus-menerus sesuai dengan pembahan masa, dan tidak anonim.


Yang termasuk prosa lama ialah:

A. Dongeng

yaitu bentuk prosa lama yang semata-mata berdasarkan khayal dan disampaikan secara lisan. Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi, misalnya kejadian-kejadian aneh di zaman dahulu. Dongeng berfungsi menyampaikan ajaran moral dan juga menghibur. Dongeng termasuk cerita tradisional. Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun temurun. Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat. Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.  Selanjutnya dongeng dibedakan lagi atas:

1. Fabel (dongeng tentang binatang) Contoh:

Kancil Yang Cerdik

Bayan Budiman

2. Legenda (dongeng yang isinya dikaitkan dengan keunikan atau keajaiban alam) Contoh:

Asal-usul Kota Banyuwangi

Sangkuriang

3. Sage (dongeng yang mengandung unsur-unsur sejarah) Contoh:

Darmawulan

Terjadinya Kota Majapahit

4. Mite (dongeng lentang dewan-dewa atau makhluk lain yang dianggap mempunyai sijat kedewaan, dan sakral) Contoh:

Cerita Gerhana

Nyi Loro Kidul

Hikayat Sang Boma

Odysee

5. Epos (Wiracarita/dongeng kepahlawanan) Contoh:

Ramayana

Mahabarata

6. Dongeng Jenaka (dongeng yang menceritakan kebodohan atau perilaku seseorang yang penuh kejenakaan atau lelucon) Contoh:

Pak Pandir

Pak Belalang

Si Lebai Malang

Abu Nawas

Tema-Tema Dongeng

1.  Moral tentang kebaikan yang  selalu menang melawan kejahatan.

2.  Kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali

3.  Tugas yang tak mungkin dilaksanakan.

4.  Mantra ajaib, misalnya mantra untuk mengubah orang menjadi binatang.

5.  Daya tarik yang timbul melalui kebaikan dan cinta.

6.  Pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh makhluk dengan kekuatan ajaib.

7.  Keberhasilan anak ketiga atau anak bungsu ketika sang kakak gagal.

8.  Kecantikan dan keluhuran anak ketiga atau anak bungsu.

9.  Kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.

10.  Kejahatan ibu tiri.

Ciri-Ciri Lain Dongeng

1.  Menggunakan alur sederhana.

2.  Cerita singkat dan bergerak cepat.

3.  Karakter tokoh tidak diuraikan secara rinci.

4.  Ditulis dengan gaya penceritaan secara lisan.

5.  Terkadang pesan atau tema dituliskan dalam cerita.

6.  Biasanya, pendahuluan sangat singkat dan langsung.

Contoh kalimat pembuka pada dongeng

1.  Syahdan pada zaman dahulu kala, di negeri antah berantah, ...

2.  Kata sahibul hikayat, ...

3.  Pada zaman dahulu kala, ...

4.  Pada masa silam, ...

5.  Beribu-ribu tahun yang lalu, ...

6.  Di suatu negeri yang jauh, ...

Man Doblang

(Tinggi Badan Baginda Raja)

Kesulitan rakyat Mataram tidak hanya datang dari kekuasaan rakus Belanda. Kadang juga dari kalangan keraton sendiri. Lebih sulit lagi jika pangkal soalnya adalah Baginda Raja sendiri. Masalah Raja menjadi malapetaka. Baginda Raja tetaplah dianggap penguasa tunggal, penguasa tertinggi. Sampai sekarang pun, bayangan tubuhnya tak ada yang berani menginjak. Memandang langsung pun tak diizinkan, kecuali sedang diajak bercakap. Itu pun diawali dan diakhiri dengan gerakan menyembah.

Masalah sederhana ini terjadi ketika Mantri Pribadi harus mengisi formulir mengenai data diri Baginda Raja. Kolom mengenai tanggal lahir, nama keluarga, berat badan, semua bisa terisi. Kecuali kolom tinggi badan Baginda Raja. Isinya masih titik-titik. Karena tidak ada yang berani mengukur tinggi badan Baginda Raja. Karena itu artinya menyentuh kepala Baginda Raja.

Mantri Pribadi pernah meminta tolong Permaisuri agar mengukur tinggi Badan Baginda kala tidur. Tapi upaya ini gagal karena Permaisuri takut saat diukur Baginda terbangun. Pernah pula diupayakan cara lain. Ketika Baginda Raja berdiri dekat dinding, diperkirakan tingginya. Tapi ini tidak akurat. Kalau berbohong mengenai Baginda Raja, hukumannya sangat berat.

Dalam keadaan putus asa, Mantri Pribadi menemui Man Doblang untuk minta tolong.

“Kepada siapa lagi saya minta tolong, Paman?”

“Bawa meteran, langsung diukur. Kalau Baginda Raja marah, katakan bahwa Pak Mantri diperintahkan mengisi formulir.”

“Saya bisa dipecat, dan seluruh keluarga saya akan dihukum.”

“Karena Pak Mantri sudah berusaha sepenuh tenaga, saya bersedia membantu.”

Mantri Pribadi sangat gembira. Meskipun masih was-was akan nasib Man Doblang. Dengan cara bagaimana Man Doblang mengukur tinggi badan Baginda Raja?

Agaknya Baginda Raja telah mengetahui bahwa Man Doblang akan menemui untuk mengukur tinggi badannya. Pada kesempatan pertama, permohonan menghadap Man Doblang langsung diizinkan.

“Ingsun memang ingin menguji para mantri dan cerdik cendikiawan di keraton ini,” kata Baginda Raja yang selalu menyebut dirinya dengan ‘ingsun’. “Akhirnya, kamu juga akan maju menghadap Man Doblang.

Apakah kamu akan mengukur dari ujung rambut ke ujung kaki ingsun?”

Man Doblang menyembah. “Tidak ada yang berani melakukan perbuatan yang kurang ajar itu.”

“Lalu bagaimana caramu?”

“Hamba memohon Baginda mengukur sendiri.”

“Ingsun tidak mau melakukan itu. Kalian yang harus berusaha untuk Ingsun.”

“Kalau demikian halnya, perkenankan Baginda mengukur panjang tangan Baginda yang direntangkan.”

Meskipun bertanya-tanya dalam hati, Baginda Raja mengukur panjang tangan yang direntangkan. “Seratus enam puluh delapan senti.”

“Kalau demikian, tinggi badan Baginda seratus enam puluh delapan senti.”

“Mana mungkin?”

Kali ini Baginda mengukur tinggi tubuhnya. Dari ujung kaki yang menginjak. Persis sama!

“Luar biasa, kamu memang luar biasa Man Doblang. Kamu bisa mengukur tinggi tubuh ingsun, bahkan tanpa menyentuh sehelai rambut ingsun. Luar biasa.”

“Begitu ukuran tubuh kita semua, Baginda…”

“Kalau ternyata tidak cocok?”

“Bahkan, kita telah mengetahui tinggi badan Baginda yang sesungguhnya karena Baginda telah mengukur sendiri?” Baginda Raja puas dengan jawaban Man Doblang. Bahkan, kemudian menawarkan jabatan sebagai Mantri Pribadi, atau jabatan lain yang setingkat                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              dengan itu, atau bahkan Mantri Perang! Man Doblang menolak dengan halus.

“Seorang mantri adalah ibarat jari dan tangan Paduka Baginda. Mereka harus orang yang tepat dan menguasai kementriannya. Tujuannya memperingan tugas Baginda…”

Ini bukan pertama kalinya Man Doblang menolak jabatan atau pangkat tinggi. Bagi Man Doblang bukan harta, bukan juga kekuasaan yang dicari. Melainkan ketenangan dan kedamaian dan bisa membantu sesama. Ini semua bisa dilakukan tanpa perlu jabatan yang tinggi atau kekuasaan yang besar.

Sumber: Ino, Edisi 03/Juni 2001

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

1. Tentukan tema pada dongeng “Man Doblang”!

2. Siapa saja tokoh dalam dongeng tersebut?

3. Bagaimanakah watak mereka?

4. Sebutkan hal-hal menarik pada dongeng tersebut!

5. Mengapa Mantri Pribadi meminta bantuan kepada Man Doblang?

6. Mengapa Man Doblang selalu menolak tawaran Raja untuk menduduki jabatan penting?

7. Hal apa yang bisa menjadi pelajaran bagi kita?

8. Dalam kehidupan sehari-hari, apakah yang bisa kita lakukan berdasarkan dongeng di atas?

B. Hikayat

yaitu prosa lama yang isinya mengenai kejadian-kejadian di lingkungan istana, tentang keluarga raja.

Contoh:

Hikayat Hang Tuah

Hikayat Si Miskin

Hikayal Panca Tantra

Hikayat Panji Semirang

Hikayat Dalang Indra Kusuma

Hikayat Amir Hamzah

C. Silsilah atau tambo

yaitu semacam sejarah, tetapi isinya sudah bercampur dengan khayalan sehingga banyak cerita yang tidak tercerna oleh pikiran sehat.

Contoh:

Sejarah Melayu

Hikayat Raja-raja Pasai

Sejarah Melayu-Bugis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar