Sejarah Kerajaan Singasari
a. Berdirinya Kerajaan Singasari dan perkembangan politik
Ken Arok
adalah anak seorang wanita desa. Pada usia remaja, ia berhasil diterima
mengabdi pada Awuku Tunggul Ametung di Tumapel. Awuku adalah pangkat
penguasa daerah. Tunggul Ametung mempunyai istri yang cantik bernama Ken
Dedes.
Suatu hari,
Ken Arok tertarik pada Ken Dedes dan bersumpah akan merebut Ken Dedes
dari tangan Tunggul Ametung. Ken Arok lalu memesan keris pada Mpu
Gandring. Melihat kerisnya sudah jadi sebelum waktu yang ditentukan, Ken
Arok segera memintanya. Mpu Gandring mempertahankan keris itu sebab
menurutnya keris itu belum dimantrai.
Dalam
kepercayaan para empu, keris yang belum dimantrai dapat membahayakan
pemilik dan orang-orang di sekitarnya. Ken Arok lalu merebut keris itu
dan dalam perkelahian tersebut, Mpu Gandring terbunuh oleh keris
buatannya sendiri. Sebelum wafat, ia bersumpah bahwa keris itu akan
membunuh tujuh nyawa, termasuk nyawa Ken Arok sendiri.
Dengan keris
tersebut, Ken Arok lalu membunuh Tunggul Ametung dan memfitnah Kebo
Ijo. Berkat berbagai intrik dan fitnah lainnya, Ken Arok berhasil
menjadi awuku di Tumapel dan mengawini Ken Dedes. Ia lalu menyerang
Kediri dan naik takhta menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Rangga
Rajasanagara Amurwabumi.
Setelah
berhasil mengalahkan Kertajaya, Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari
dan berkuasa selama lebih kurang lima tahun, yaitu dari tahun 1222
sampai tahun 1227. Ken Arok tewas dibunuh seorang pengalasan pada tahun
1227 atas perintah Anusapati. Anusapati adalah anak Tunggul Ametung dan
Ken Dedes (anak tiri Ken Arok). Ken Arok lalu didharmakan di Kagenengan
dalam bangunan suci agama Syiwa dan Buddha. Adapun Anusapati kemudian
memerintah Singasari selama 21 tahun (1224 – 1248).
Pembunuhan
Ken Arok oleh Anusapati menimbulkan dendam putra Ken Arok dan Ken Umang,
yaitu Tohjoyo. Ia berusaha membalas kematian ayahnya dan berhasil
membunuh Anusapati pada tahun 1248, ketika keduanya tengah menyabung
ayam. Anusapati didharmakan di candi Kidal.
Tohjoyo naik
takhta menjadi Raja Singasari, namun hanya untuk beberapa bulan.
Sebabnya adalah Ranggawuni, putra Anusapati, menyerang Keraton Singasari
dibantu para pengikutnya untuk membalas kematian ayahnya. Dalam
serangan tersebut, Tohjoyo berhasil melarikan diri, namun kemudian
meninggal akibat luka-luka yang dideritanya di Katung Lumbung.
Ranggawuni
naik takhta menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana
dan memerintah dari tahun 1248-1268. Ia berusaha menghentikan
usaha-usaha balas dendam dengan memberi jabatan-jabatan tertentu. Salah
satunya adalah mengangkat Mahisa Cempaka, putra Mahisa Wongatelang
(Mahisa Wongateleng adalah putra Ken Arok dan Ken Dedes), menjadi Ratu
Angabahaya dengan gelar Narasinghamurti.
Pada tahun
1254, Wisnuwardhana mengangkat anaknya yang bernama Kertanegara menjadi
raja muda (Yuwaraja). Wisnuwardhana meninggal pada tahun 1268 dan
didharmakan sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amoghapasa di
Jajagu atau candi Jago. Tidak lama kemudian, Mahisa Cempaka juga
meninggal dan didharmakan di Kumeper.
b. Masa pemerintahan Kertanegara
Kertanegara
memerintah Singasari dari tahun 1268 hingga tahun 1292. Ia merupakan
raja terbesar Kerajaan Singasari. Setelah naik takhta, ia bergelar Sri
Maharajadhiraja Sri Kertanegara. Ia memiliki gagasan besar di bidang
politik dan terkenal sebagai raja yang memiliki cita-cita meluaskan
denah kekuasaan hingga meliputi seluruh Nusantara.
Usaha-usaha Kertanegara untuk mencapai cita-citanya itu sebagai berikut.
1) Usaha di dalam negeri
a) Untuk
memperlancar pemerintahannya, Kertanegara dibantu oleh tiga orang
mahamenteri, yaitu I Hino, I Sirikan, dan I Halu. Tugas mereka adalah
mengatur dan meneruskan perintah raja melalui tiga menteri pelaksana,
yaitu Rakryan Apatih, Rakryan Demung, dan Rakryan Kanuruhan.
b) Karena
dipandang kurang mendukung gagasan raja, Mahapatih Raganatha diganti
oleh Aragani. Namun, agar tidak kecewa, Raganatha diangkat menjadi
adhyaka di Tumapel.
c) Karena
dianggap masih punya hubungan erat dengan Kediri, Banyak Wide diangkat
menjadi Bupati Semenep (Madura) dengan gelar Arya Wiraraja.
d) Angkatan perang, baik prajurit darat maupun armada laut, diperkuat dengan melengkapi peralatan dan persenjataannya.
e) Menumpas
segala pemberontakan yang terjadi di dalam negeri, misalnya,
Pemberontakan Bhayaraja (1270) dan Pemberontakan Mahesa Rangkah (1280).
f) Mengajak
kerja sama lawan-lawan politik, misalnya, Jayakatwang (keturunan Raja
Kediri) diangkat menjadi raja kecil di Kediri dan putranya, Ardharaja
dijadikan menantu Kertanegara.
g) Raden Wijaya, putra Mahisa Cempaka, juga dijadikan menantu.
h) Untuk
mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemuka agama, diangkatlah
seorang kepala agama Buddha dan seorang pendeta Mahabrahma sebagai
pendamping raja.
2) Usaha ke luar negeri
a) Setelah
armada lautnya kuat, Kertanegara mulai melebarkan sayap ke luar Jawa.
Pertama-tama, Kertanegara ingin menguasai Sriwijaya. Pada tahun 1275,
Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Melayu (Ekspedisi Pamalayu) untuk
menghidupkan kembali Kerajaan Melayu di Jambi agar dapat menyaingi dan
melemahkan Kerajaan Sriwijaya. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah
atau menahan gerak ekspansi prajurit Mongol yang dipimpin Kaisar Kublai
Khan.
b) Pada tahun 1284, Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Bali dan berhasil menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di sana.
c) Pada
tahun 1286, Kertanegara mengirimkan sebuah Patung Amoghapasa beserta 14
pengiringnya kepada Raja Melayu, Mauliwamadewa. Hal itu dimaksudkan
untuk mempererat dan memperkuat pertahanan Singasari – Melayu.
d)
Menundukkan Jawa Barat (1289), Pahang di Melayu, dan Tanjungpura di
Kalimantan karena daerah-daerah ini sangat strategis untuk menghadang
ekspansi tentara Mongol.
e) Menjalin
persahabatan dengan raja-raja di Semenanjung Malaka dan Indocina dengan
jalan mengawinkan putri Kertanegara dengan Raja Indocina.
Pada masa
pemerintahan Kertanegara, di Singasari telah berkembang pusat agama
Buddha aliran Tantrayana. Hal ini terbukti dalam prasasti yang
dituliskan pada lapik (alas) "Jaka Dolok" yang ada di Taman Simpang
Surabaya. Lapik tersebut menyebutkan bahwa Kertanegara telah dinobatkan
sebagai Jiwa atau Dhyani Buddha (Aksobhya). Masa pemerintahan
Kertanegara berakhir ketika Kertanegara dibunuh oleh Jayakatwang, raja
dari Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar