Perkembangan Tradisi Islam di Berbagai Daerah dari Abad ke-15 sampai ke-18
- Pada masa sebelum datangnya Islam, pusat-pusat pemerintahan kerajaan
di Indonesia umumnya memiliki tanah lapang yang luas (alun-alun). Di
empat penjuru tanah lapang itu terdapat bangunan-bangunan penting,
seperti keraton, tempat pemujaan, dan pasar.
Jika dilihat
dari sudut arsitektur, masjid kuno beratap tingkat (meru) misalnya
beratap dua yaitu masjid Agung Cirebon, masjid Katangka di Sulawesi,
masjid Muara Angke, Tambora dan Marunda di Jakarta; masjid beratap tiga
yaitu masjid Demak, Baiturrahman Aceh, masjid Jepara; dan masjid beratap
lima yaitu masjid Agung Banten. Masjid kuno Indonesia yang mempunyai
atap bertingkat telah mengundang pendapat beberapa ahli yang mengatakan
bahwa hal itu merupakan kelanjutan dari seni bangunan tradisional
Indonesia lama.
Ada beberapa bukti yang mendukung pendapat itu, di antaranya sebagai berikut.
makam Fatimah binti Maimun |
2. Relief yang ada di candi-candi pada masa Majapahit juga terdapat ukiran yang menggambarkan bangunan atap bertingkat.
Dari uraian
di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi akulturasi antara seni
bangun tradisional Indonesia dengan seni bangun. Dalam seni ukir dan
lukis terjadi akulturasi antara seni ukir dan seni lukis Islam dengan
seni lukis dan seni ukir tradisional Indonesia yang dapat kita jumpai
pada bangunan masjid-masjid kuno dan keraton. Ukir-ukiran yang biasa
dipahatkan pada tiang-tiang, tembok, atap, mihrab, dan mimbarnya dibuat
dengan pola makara dan teratai.
Dalam
perkembangan selanjutnya, muncul pula seni kaligrafi, yaitu seni melukis
indah dengan huruf Arab. Dalam seni tari dan seni musik juga terjadi
akulturasi yakni beberapa upacara dan tarian rakyat.
Di beberapa
daerah ada jenis tarian yang berhubungan dengan nyanyian atau pembacaan
tertentu yang berupa selawat atau slawat kompang. Bentuk-bentuk tarian
itu misalnya permainan dabus dan seudati. Permainan dabus adalah suatu
jenis tarian atau pertunjukan kekebalan terhadap senjata tajam dengan
cara menusukkan benda tajam tersebut pada tubuhnya.
Tarian ini
diawali dengan nyanyian atau pembacaan Alquran atau selawat nabi.
Permainan ini berkembang di bekas-bekas pusat kerajaan seperti Banten,
Minangkabau, Aceh. Adapun seudati adalah seni tradisional rakyat Aceh
yang berupa tarian atau nyanyian. Pertunjukan dilakukan oleh sembilan
atau sepuluh orang pemuda dengan memukul-mukulkan telapak tangan ke
bagian dada. Dalam seudati pemain juga menyanyikan lagu-lagu tertentu
yang isinya berupa selawat (pujian) kepada nabi.
Selain seni
tari, juga berkembang seni musik yang berupa pertunjukan gamelan.
Pertunjukan ini biasa dilakukan pada upacara Maulud, yaitu peringatan
untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada
peringatan ini, selain dinyanyikan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad
saw. juga diadakan pertunjukan gamelan dan pencucian benda-benda
keramat. Upacara ini biasanya dilakukan di bekas pusat kerajaan, seperti
Yogyakarta dan Surakarta yang disebut Gerebeg Maulud. Upacara semacam
ini di Cirebon biasa disebut Pajang Jimat. Upacara ini biasa disampaikan
dengan gemelan yang disebut Sekaten.
Masuknya
kebudayaan Islam juga berpengaruh besar terhadap seni bangunan makam.
Bangunan makam pada orang yang meninggal terbuat dari batu bata tembok
yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat itu, khususnya bagi
orang-orang penting didirikan sebuah rumah yang disebut bangunan makam
berupa jirat dan cungkup yang biasanya dihiasi dengan seni kaligrafi
(seni tulisan Arab) yang indah.
Makam tertua
di Indonesia yang bercorak Islam ialah makam Fatimah binti Maimun di
Leran (tahun 1082) dan diberi cungkup. Dinding cungkup diberi hiasan
bingkai-bingkai mendatar mirip model hiasan candi. Makam lain yang
penting, antara lain makam Sultan Malik al Saleh di Samudra Pasai, makam
Maulana Malik Ibrahim, dan makam para wali dan sultan yang lain.
Demikianlah Materi Perkembangan Tradisi Islam di Berbagai Daerah dari Abad ke-15 sampai ke-18, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar