Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan pada Masa Orde Baru
 - Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sektor pertanian di
 Indonesia tidak lepas dari perkembangan sektor industri pertanian itu 
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian di dunia 
ditandai dengan munculnya Revolusi Hijau.
1. Revolusi Hijau
Munculnya 
beberapa teknik pertanian pada abad ke-17 dan abad ke-18 dapat dilacak 
dari jenis tanaman baru dan beberapa perubahan ekonomi. Pada masa 
sekarang ini di negara yang maju dan sedang berkembang terjadi perbedaan
 makin besar dalam taraf hidup masyarakatnya. Hal ini disebabkan 
perbedaan antara efisiensi teknologi pertanian dan kenaikan jumlah 
penduduk. 
Perubahan-perubahan
 di bidang pertanian sebenarnya telah berkali-kali terjadi dalam sejarah
 kehidupan manusia yang biasa dikenal dengan istilah revolusi. Perubahan
 dalam bidang pertanian itu dapat berupa peralatan pertanian, perubahan 
rotasi tanaman, dan perubahan sistem pengairan. Usaha ini ada yang cepat
 dan lambat. 
Usaha yang 
cepat inilah disebut revolusi, yaitu perubahan secara cepat menyangkut 
masalah pembaruan teknologi pertanian dan peningkatan produksi 
pertanian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Revolusi Hijau 
merupakan bagian dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem 
pertanian pada abad sekarang ini.
Revolusi 
Hijau pada dasarnya adalah suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara
 tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau ditandai dengan makin 
berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca dan alam, digantikan 
dengan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya meningkatkan 
produksi pangan. Revolusi Hijau sering disebut juga Revolusi Agraria. 
Pengertian agraria meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, 
perikanan, dan kehutanan.
Lahirnya 
Revolusi Hijau melalui proses panjang dan akhirnya meluas ke wilayah 
Asia dan Afrika. Revolusi Hijau mulai mendapat perhatian setelah Thomas 
Robert Malthus (1766–1834) mulai melakukan penelitian dan memaparkan 
hasilnya. Malthus menyatakan bahwa kemiskinan adalah masalah yang tidak 
bisa dihindari oleh manusia. Kemiskinan terjadi karena pertumbuhan 
penduduk dan peningkatan produksi pangan yang tidak seimbang. 
Pertumbuhan 
penduduk lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan hasil pertanian 
(pangan). Malthus berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret
 ukur (1, 2, 4, 8, 16, 31, 64, dan seterusnya), sedangkan hasil 
pertanian mengikuti deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan 
seterusnya). Hasil penelitian Malthus itu menimbulkan kegemparan di 
Eropa dan Amerika. 
Akibatnya, 
muncul berbagai gerakan pengendalian pertumbuhan penduduk dan usaha 
penelitian pencarian bibit unggul dalam bidang pertanian. Revolusi Hijau
 menjadi proyek penelitian untuk meningkatkan produksi pangan di 
berbagai negara di dunia. Sejumlah varietas padi-padian baru yang 
unggul, khususnya gandum, padi, dan jagung dikembangkan dalam upaya 
melipatgandakan hasil pertanian. Pelaksanaan penelitian pertanian 
disponsori oleh lembaga Ford and Rockefeller Foundation. Penelitian itu 
dilakukan di negara Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. Di Meksiko 
pada tahun 1944 didirikan sebuah pusat penelitian benih jagung dan 
gandum. Pusat penelitian ini mendapat bimbingan langsung dari 
Rockefeller Foundation. Hanya dalam beberapa tahun, para peneliti di 
lembaga tersebut berhasil menemukan beberapa varietas baru yang hasilnya
 jauh di atas rata-rata hasil varietas lokal Meksiko.
Diilhami 
oleh kesuksesan hasil penelitian di Meksiko, pada tahun 1962 Rockefeller
 Foundation bekerja sama dengan Ford Foundation mendirikan sebuah badan 
penelitian untuk tanaman padi di Filipina. Badan penelitian ini 
dinamakan International Rice Research Institute (IRRI) yang bertempat di
 Los Banos, Filipina. Pusat penelitian ini ternyata juga menghasilkan 
suatu varietas padi baru yang hasilnya jauh melebihi rata-rata hasil 
varietas lokal di Asia.
Varietas 
baru tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas padi 
kerdil dari Taiwan yang bernama Dee-Geowoogen dan varietas padi jangkung
 dari Indonesia yang bernama Peta. Hasil dari persilangan tersebut 
diberi nama IR 8-288-3 atau biasa dikenal dengan IR-8 dan di Indonesia 
dikenal dengan sebutan padi PB-8. Setelah penemuan padi PB-8, disusul 
oleh penemuan varietas-varietas baru yang lain. Jenis-jenis bibit dari 
IRRI ini di Indonesia disebut padi unggul baru (PUB). Pada tahun 1966, 
IR-8 mulai disebarkan ke Asia diikuti oleh penyebaran IR-5 pada tahun 
1967. Pada tahun 1968 di India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Malaysia,
 Taiwan, Vietnam, dan Indonesia telah dilaksanakan penanaman padi jenis 
IR atau PUB secara luas di masyarakat. Pada tahun 1976 areal sawah di 
Asia yang ditanami PUB sudah mencapai 24 juta hektar.
Revolusi 
Hijau adalah proses keberhasilan para teknologi pertanian dalam 
melakukan persilangan (breeding) antarjenis tanaman tertentu sehingga 
menghasilkan jenis tanaman unggul untuk meningkatkan produksi bahan 
pangan. Jenis tanaman unggul itu mempunyai ciri berumur pendek, 
memberikan hasil produksi berlipat ganda (dibandingkan dengan jenis 
tradisional) dan mudah beradaptasi dalam lingkungan apapun, asal 
memenuhi syarat, antara lain:
a. tersedia cukup air;
b. pemupukan teratur;
c. tersedia bahan kimia pemberantas hama dan penyakit;
d. tersedia bahan kimia pemberantas rerumputan pengganggu.
Revolusi 
Hijau dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan umat manusia, tetapi 
juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia.
Keuntungan Revolusi Hijau bagi umat manusia, antara lain sebagai berikut
.
a. Revolusi 
Hijau menyebabkan munculnya tanaman jenis unggul berumur pendek sehingga
 intensitas penanaman per tahun menjadi bertambah (dari satu kali 
menjadi dua kali atau tiga kali per dua tahun). Akibatnya, tenaga kerja 
yang dibutuhkan lebih banyak. Demikian juga keharusan pemupukan, 
pemberantasan hama dan penyakit akan menambah kebutuhan tenaga kerja.
b. Revolusi 
Hijau dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan paket teknologi, 
biaya produksi memang bertambah. Namun, tingkat produksi yang 
dihasilkannya akan memberikan sisa keuntungan jauh lebih besar daripada 
usaha pertanian tradisional.
c. Revolusi 
Hijau dapat merangsang kesadaran petani dan masyarakat pada umumnya akan
 pentingnya teknologi. Dalam hal ini, terkandung pandangan atau harapan 
bahwa dengan masuknya petani ke dalam arus utama kehidupan ekonomi, 
petani, dan masyarakat pada umumnya akan menjadi sejahtera.
d. Revolusi 
Hijau merangsang dinamika ekonomi masyarakat karena dengan hasil 
melimpah akan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat pula di 
masyarakat. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara, misalnya di 
Indonesia.
Revolusi Hijau di Indonesia diformulasikan dalam konsep ‘Pancausaha Tani’ yaitu:
a. pemilihan dan penggunaan bibit unggul atau varitas unggul;
b. pemupukan yang teratur;
c. pengairan yang cukup;
d. pemberantasan hama secara intensif;
e. teknik penanaman yang lebih teratur.
Untuk meningkatkan produksi pangan dan produksi pertanian umumnya dilakukan dengan empat usaha pokok, yaitu sebagai berikut.
a. Intensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan menerapkan pancausaha tani.
b. 
Ekstensifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan 
membuka lahan baru termasuk usaha penangkapan ikan dan penanaman rumput 
untuk makanan ternak.
c. Diversifikasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan keanekaragaman usaha tani.
d. 
Rehabilitasi pertanian : usaha meningkatkan produksi pertanian dengan 
pemulihan kemampuan daya produkstivitas sumber daya pertanian yang sudah
 kritis.
Dampak negatif munculnya Revolusi Hijau bagi para petani Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Sistem 
bagi hasil mengalami perubahan. Sistem panen secara bersama-sama pada 
masa sebelumnya mulai digeser oleh sistem upah. Pembeli memborong 
seluruh hasil dan biasanya menggunakan sedikit tenaga kerja. Akibatnya, 
kesempatan kerja di pedesaan menjadi berkurang.
b. Pengaruh ekonomi uang di dalam berbagai hubungan sosial di daerah pedesaan makin kuat.
c. 
Ketergantungan pada pupuk kimia dan zat kimia pembasmi hama juga 
berdampak pada tingginya biaya produksi yang harus ditanggung petani.
d. 
Peningkatan produksi pangan tidak diikuti oleh pendapatan petani secara 
keseluruhan karena penggunaan teknologi modern hanya dirasakan oleh 
petani kaya.
2. Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan danPerkotaan pada Masa Orde Baru
Sebelum 
Revolusi Hijau, produksi padi yang merupakan bahan pangan utama di 
Indonesia masih bergantung pada cara pertanian dengan mengandalkan luas 
lahan dan teknologi yang sederhana. Pada periode kemudian, intensifikasi
 pertanian menjadi tumpuan bagi peningkatan produksi pangan nasional. 
Usaha peningkatan produksi pangan di Indonesia sudah dilakukan sejak 
tahun 1950-an. Pada waktu itu, pemerintah menerapkan kebijakan Rencana 
Kemakmuran Kasimo. Program itu dilakukan pada kurun waktu tahun 
1952–1956. Keinginan mencapai produksi pangan yang tinggi kemudian 
dilanjutkan. Beberapa program baru dilaksanakan, seperti program padi 
sentra pada tahun 1959– 1962 dan program bimbingan masyarakat (bimas) 
pada tahun 1963–1965.
Program-program
 tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip Revolusi Hijau di 
Indonesia melalui pelaksanaan kegiatan Pancausaha Tani yang mencakup 
intensifikasi dan mekanisasi pertanian. Berbagai usaha telah dilakukan 
oleh pemerintah (departemen pertanian), seperti “Bimas (Bimbingan 
Massal), Intensifikasi Masal (Inmas), Insus (Intensifikasi Khusus), 
Opsus (Operasi Khusus). Insus dan Opsus lebih menekankan pada 
peningkatan partisipasi petani secara kelompok dan aparat pembina dalam 
meningkatkan produksi. Insus merupakan upaya intensifikasi kelompok guna
 meningkatkan potensi lahan, sedangkan opsus merupakan upaya menjangkau 
lahan yang belum diintensifikasi dan mencoba memberi rangsangan dalam 
peningkatan produksi.
Berbagai 
usaha yang telah dilakukan belum berhasil menutupi kebutuhan pangan yang
 besar. Produksi beras per tahun menunjukkan kenaikan dari 5,79 juta ton
 pada tahun 1950 menjadi 8,84 juta ton pada tahun 1965. Namun, jumlah 
beras yang tersedia per jiwa masih tetap rendah sehingga impor beras 
masih tetap tinggi. Ketika ekonomi nasional memburuk pada awal tahun 
1960-an, persediaan beras nasional juga menurun. Akibatnya, harga beras 
meningkat dan masyarakat sulit mendapatkan beras di pasar. Ketika Pelita
 I dimulai pada tahun 1969, sebuah rencana peningkatan hasil tanaman 
pangan khususnya beras dilakukan melalui program intensifikasi 
masyarakat (inmas). Program inmas tersebut untuk melanjutkan program 
bimbingan masyarakat (bimas).
Pusat-pusat 
penelitian itu tidak hanya bergantung pada pembudidayaan jenis padi yang
 telah dikembangkan oleh IRRI. Para peneliti Indonesia juga melakukan 
penyilangan terhadap jenis padi lokal. Mereka berhasil menemukan jenis 
padi baru yang lebih berkualitas, baik dalam penanaman, tingkat 
produksi, maupun rasa dengan memanfaatkan teknologi baru yang ada. 
Hasilnya, beberapa jenis benih unggul yang dikenal sebagai padi IR, PB, 
VUTW, C4, atau Pelita ditanam secara luas oleh para petani Indonesia 
sejak tahun 1970-an.
Perkembangan
 Revolusi Hijau di Indonesia mengalami pasang surut karena faktor alam 
ataupun kerusakan ekologi. Hal ini tentu saja memengaruhi persediaan 
beras nasional. Pada tahun 1972, produksi beras Indonesia terancam oleh 
musim kering yang panjang. Usaha peningkatan produksi beras nasional 
sekali lagi terganggu karena serangan hama dengan mencakup wilayah yang 
sangat luas pada tahun 1977. Produksi pangan mengalami kenaikan ketika 
program intensifikasi khusus (insus) dilaksanakan pada tahun 1980. 
Hasilnya, Indonesia mampu mencapai tingkat swasembada beras dan berhenti
 mengimpor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977 dan 1979 
Indonesia merupakan pengimpor beras terbesar di dunia. 
Selain 
memanfaatkan jenis padi baru yang unggul, peningkatan produksi beras di 
Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia, mekanisasi pengolahan 
tanah, pola tanam, pengembangan teknologi pascapanen, penggunaan bahan 
kimia untuk membasmi hama pengganggu, pencetakan sawah baru, dan 
perbaikan serta pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Selain 
kebijakan intensifikasi, Indonesia juga melakukan pencetakan sawah baru.
 Sampai tahun 1985, sudah terdapat 4,23 juta hektar sawah beririgasi 
terutama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dibandingkan sekitar 1,8
 juta hektar pada tahun 1964. Selama empat pelita, telah dibangun dan 
diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar sawah beririgasi.
Dengan 
demikian Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam pengadaan
 pangan. Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota FAO (Food and 
Agricultur Organization). FAO telah banyak memberi bantuan untuk 
pengembangan pertanian. Keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan 
dibuktikan dengan adanya penghargan dari FAO pada tahun 1988. Hal ini 
berarti Indonesia telah dapat mengatasi masalah pangan.
3. Pengembangan Sektor Industri dan Dampaknya
Sesuai tahapan yang ada dalam pelita, sektor industri juga mengalami penargetan dan pencapaian sasaran, seperti berikut ini.
a. Pelita I 
(1 April 1969–31 Maret 1974) sektor pertanian dan industri 
dititik-beratkan pada industri yang mendukung sektor pertanian.
b. Pelita II (1 April 1974–31 Maret 1979) sektor pertanian dan industri dititik-beratkan pada industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c. Pelita 
III (1 April 1979–31 Maret 1984) sektor pertanian dan industri 
dititikberatkan pada pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
d. Pelita IV
 (1 April 1984–31 Maret 1989) sektor pertanian dan industri 
dititikberatkan pada industri yang menghasilkan mesin-mesin industri 
baik untuk industri berat maupun ringan.
e. Pelita V 
(1 April 1989–31 Maret 1994) sektor pertanian dan industri diprogramkan 
untuk dapat menghasilkan barang ekspor industri yang menyerap banyak 
tenaga kerja, industri yang mampu mengolah hasil pertanian dan 
swasembada pangan dan industri yang dapat menghasilkan barang-barang 
industri.
f. Pelita VI
 (1 April 1994–31 Maret 1998) sektor pertanian dan industri 
dititik-beratkan pada pembangunan industri nasional yang mengarah pada 
penguatan dan pendalaman struktur industri didukung kemampuan teknologi 
yang makin meningkat.
Dengan 
penargetan dan pencapaian hasil teknologi yang dimaksudkan, Indonesia 
tumbuh menjadi kawasan industri di berbagai tempat. Lahan-lahan 
pertanian banyak berubah menjadi kawasan industri, baik oleh pemodal 
asing (PMA) maupun pemodal dalam negeri (PMDN). Mental pejabat Orde Baru
 yang korup menambah parah dampak industrialisasi di Indonesia. Banyak 
industri yang tidak mempunyai atau tidak lolos dalam penyampaian 
analisis dampak lingkungan (AMDAL), tetapi karena mampu menyuap pejabat 
berwenang yang mengeluarkan izin pendirian kawasan industri, akhirnya 
mampu membangun industri tersebut. 
Jika semua 
unsur pendirian industri yang mengarah pada ramah lingkungan itu 
terpenuhi, tentu dampak negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. 
Dengan demikian, kelestarian lingkungan hidup akan dapat selalu dijaga.
Demikianlah 
Materi Dampak Revolusi Hijau dan Industrialisasi terhadap Perubahan 
Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan pada Masa Orde Baru, selamat 
belajar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar