Ciri-ciri masyarakat praaksara (Kemampuan serta Sistem dan Seni Yang Dikuasai) -
Setelah nenek moyang kita datang di Nusantara dan menetap, mereka
meninggalkan tradisi, aturan kemasyarakatan, serta religi yang ditaati
oleh mereka dan anak keturunannya.
Tradisi
tersebut diwariskan kepada masyarakat hingga sekarang ini. Kemampuan
nenek moyang kita sebelum mengenal tulisan dan sebelum terpengaruh
budaya Hindu-Buddha oleh Brandes dikelompokkan sebagai berikut.
a. Kemampuan berlayar
Nenek moyang
bangsa Indonesia datang dari Yunan sebelum Masehi. Mereka sudah pandai
mengarungi laut dan harus menggunakan perahu untuk sampai di Indonesia.
Kemampuan berlayar ini dikembangkan di tanah baru, yaitu di Nusantara,
mengingat kondisi geografi di Nusantara terdiri banyak pulau.
Kondisi ini
mengharuskan menggunakan perahu untuk mencapai kepulauan lainnya. Salah
satu ciri perahu yang dipergunakan nenek moyang kita adalah perahu
cadik, yaitu perahu yang menggunakan alat dari bambu atau kayu yang
dipasang di kanan kiri perahu.
Pembuatan
perahu biasanya dilakukan secara gotong royong oleh kaum laki-laki.
Setelah masa perundagian, aktivitas pelayaran juga semakin meningkat.
Perahu bercadik yang merupakan alat angkut tertua tetap dikembangkan
sebagai alat transportasi serta perdagangan. Bukti adanya kemampuan dan
kemajuan berlayar tersebut terpahat pada relief candi Borobudur yang
berasal dari abad ke-8. Relief tersebut melukiskan tiga jenis perahu,
yaitu
1) perahu besar yang bercadik,
2) perahu besar yang tidak bercadik, dan
3) perahu lesung
Bentuk
perahu lesung adalah sampan yang dibuat dari satu batang kayu yang
dikeruk di dalamnya menyerupai lesung, tetapi bentuknya memanjang. Untuk
memperbesar ruangannya, pada dinding perahu ditempel papan serta diberi
cadik pada sisi kanan dan kirinya untuk menjaga keseimbangan.
Kapal yang
besar pada relief candi Borobudur mempunyai dua tiang layar yang
dimiringkan ke depan, sedangkan layar yang dipakai pada zaman itu
berbentuk segi empat dengan buritan layar berbentuk segitiga.
Kemampuan
berlayar selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang. Oleh karena
itu, pada awal Masehi bangsa Indonesia sudah berlayar sampai batas
barat Pulau Madagaskar, batas selatan Selandia Baru di timur Pulau
Paskah, dan di utara sampai Jepang. Hal ini dapat terjadi karena nenek
moyang memiliki ilmu astronomi, yaitu Bintang Biduk Selatan menjadi
petunjuk arah selatan.
b. Kemampuan bersawah
Sistem
persawahan mulai dikenal bangsa Indonesia sejak zaman Neolitikum, yaitu
manusia hidup menetap. Mereka terdorong untuk mengusahakan sesuatu yang
menghasilkan (food producing). Sistem persawahan diawali dari sistem
ladang sederhana yang belum banyak menggunakan teknologi, kemudian
meningkat dengan adanya teknologi pengairan hingga lahirlah sistem
persawahan.
Sistem
irigasi dalam bercocok tanam digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
dengan cara membuat pematang dan saluran air. Cara ini kemudian
meningkat menjadi pembuatan terasering di lereng pegunungan, serta
pembuatan bendungan atau dam air yang sederhana. Sementara itu, untuk
mengerjakan sawah dibuatlah alat-alat dari logam dan mengembangkan
tanaman biji-bijian, padi, juwawut, serta tanaman kering lainnya.
c. Mengenal astronomi
Pengetahuan
astronomi (ilmu perbintangan) sudah dimiliki nenek moyang bangsa
Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan teknologi angin musim sebagai tenaga penggerak dalam
aktivitas pelayaran dan perdagangan. Selain digunakan untuk mengenali
musim, ilmu astronomi juga sudah dimanfaatkan sebagai petunjuk arah
dalam pelayaran, yaitu Bintang Biduk Selatan dan Bintang Pari (orang
Jawa menyebut Lintang Gubug Penceng) untuk menunjuk arah selatan serta
Bintang Biduk Utara untuk menunjukkan arah utara.
Kemampuan
astronomi dan angin musim ini telah mengantarkan mereka berlayar ke
barat sampai di Pulau Madagaskar, ke timur sampai di Pulau Paskah, dan
ke selatan sampai di Selandia Baru serta ke arah utara sampai di
Kepulauan Jepang. Pengetahuan astronomi juga digunakan dalam pertanian
dengan memanfaatkan Bintang Waluku sebagai pertanda awal musim hujan.
d. Sistem mocopat
Sistem
mocopat adalah suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat
penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Sistem
mocopat dikaitkan dengan pendirian bangunan, pusat kota atau pemerintah
(istana), alun-alun, tempat pemujaan, pasar, dan penjara.
Peletakan
bangunan tersebut dibuat skema bersudut empat di mana setiap sudut
mempunyai kemampuan dan kekuatan secara magis. Itulah sebabnya mengapa
setiap desa pada zaman kuno selalu diberi sesaji pada waktu-waktu
tertentu, bahkan hari pasaran menurut perhitungannya juga dikaitkan
dengan sistem mocopat, yaitu
1) arah barat diletakkan pon jatuh hari Senin dan Selasa,
2) arah timur diletakkan legi jatuh hari Jumat,
3) arah selatan diletakkan pahing jatuh hari Sabtu dan Minggu,
4) arah utara diletakkan wage jatuh hari Rabu dan Kamis, dan
5) arah tengah diletakkan kliwon jatuh hari Jumat dan Sabtu.
Jadi pola
susunan masyarakat mocopat merupakan suatu kepercayaan dalam menata dan
menempatkan suatu bangunan yang bersudut empat, dengan susunan ibu kota
pusat pemerintahan terdapat alun-alun di sekitar istana, serta ada
bangunan tempat pemujaan, pasar, dan penjara.
Di daerah Tuban, Jawa Timur di masa dahulu masih terdapat model desa penenun sebagai berikut.
1) Pusat
desa lama terdapat di tengah desa (dikelilingi desa) di dalamnya
terdapat rumah kepala desa, rumah pencelupan kain, dan rumah ulama.
2) Pusat administrasi berada di belakang rumah kepala desa.
3) Kemudian dikelilingi desa-desa mocopat yang membentuk lingkaran mengelilingi
pusat desa tersebut. Demikian kaitan antara sistem mocopat dengan religiositas di masa nenek moyang kita.
e. Kesenian wayang
Kesenian
wayang semula berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Semula wayang
diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada
malam hari. Dengan beralaskan tirai dan tata lampu di belakangnya serta
boneka yang digerak-gerakkan sehingga terlihat bayangan boneka
seolah-olah hidup. Jika dalang kemasukan roh nenek moyang, sang dalang
akan menyuarakan suara nenek moyang yang berisi nasihat-nasihat kepada
anak cucu mereka.
Setelah
kedatangan hinduisme ke nusantara maka kisah nenek moyang digantikan
kisah Ramayana dan Mahabharata. Bonekanya kemudian diganti dengan bentuk
tokoh dalam cerita Mahabharata. Fungsinya pun beralih sebagai
pertunjukan dan penontonnya melihat dari depan tirai. Pada zaman Kediri,
muncul kitab Gatotkacasraya yang mulai menampilkan dewa asli Jawa,
yakni Punakawan yang berperan agresif dan dinamis dalam membimbing dan
mengawal para Pandawa dari ancaman musuhnya, yakni Kurawa (kitab
Gatotkacasraya memuat unsur javanisasi).
Pada waktu
senggang, nenek moyang yang sudah menetap dan hidup bercocok tanam
menyalurkan bakat seninya serta pemujaan setelah panen dengan
pertunjukan wayang. Pertunjukan tersebut untuk memuja Dewi Sri yang
telah memberi berkah pertanian. Selain itu, pertunjukan wayang merupakan
tontonan yang di dalamnya terdapat nasihat yang berharga.
f. Seni gamelan
Seni gamelan
ada kaitannya dengan seni wayang. Seni gamelan ini dipakai untuk
mengiringi pertunjukkan wayang. Pada waktu musim bercocok tanam sudah
usai masyarakat kuno itu membuat alat musik gamelan, mengembangkan seni
membatik, dan mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk untuk dapat
dilihat oleh masyarakat di sekitarnya.
g. Seni membatik
Seni
membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara
menggambarnya mempergunakan alat canting yang diisi bahan cairan lilin
(orang Jawa menyebutnya malam) yang telah dipanaskan, lalu dilukiskan
pada kain sesuai motifnya.
Bagian kain
yang tidak terkena malam/cairan lilin akan menjadi berwarna merah
setelah dimasukkan dalam air soga. Membatik dilakukan untuk mengisi
waktu luang bercocok tanam setelah panen, sekaligus merupakan kegiatan
religius, sebab ada kegiatan membatik tertentu yang dimaksudkan untuk
menghormati nenek moyang mereka.
h. Pengaturan masyarakat
Nenek moyang
kita hidup berkelompok. Mereka bersepakat untuk hidup secara bersama,
hidup gotong royong, dan demokratis. Mereka memilih seorang pemimpin
yang dianggap dapat melindungi masyarakat dari berbagai gangguan
termasuk gangguan roh sehingga seorang pemimpin dianggap memiliki
kesaktian lebih. Cara pemilihan pemimpin yang demikian disebut primus
inter pares, yaitu yang terutama di antara yang banyak. Jadi, seorang
pemimpin adalah yang terbaik bagi mereka bersama.
i. Sistem ekonomi dengan mengenal perdagangan
Kebutuhan
hidup manusia selalu menuntut untuk dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, masyarakat kuno saling bertukar barang (barter) dari satu
wilayah ke wilayah lain. Jadi, dalam hal perdagangan, nenek moyang kita
sudah melaksanakan kegiatan barter dikarenakan mereka belum mengenal
uang, nilainya berdasarkan kesepakatan bersama.
j. Sistem kepercayaan
Manusia yang
terdiri atas jasmani dan rohani memunculkan suatu kepercayaan bersifat
rohani yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk riil. Sistem
kepercayaan masyarakat Indonesia mulai tumbuh pada masa hidup berburu
dan mengumpulkan makanan, ini dibuktikan dengan penemuan lukisan dinding
gua di Sulawesi Selatan berbentuk cap tangan merah dengan jari-jari
yang direntangkan. Lukisan itu diartikan sebagai sumber kekuatan atau
simbol perlindungan untuk mencegah roh jahat. Manusia di zaman hidup
bercocok tanam sudah percaya adanya dewa alam yang menciptakan banjir,
gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.
Pada zaman
perundagian, masyarakat sudah percaya kepada roh nenek moyang. Mereka
percaya jiwa dan roh berdiam di batu besar, pohon besar, dan sebagainya.
Kepercayaan ini pada akhirnya diwariskan kepada kita hingga masa
sekarang.
Herbert
Spencer dan August Comte menerapkan teori evolusi untuk mengkaji
masyarakat manusia dalam kaitannya dengan religi. Menurut keduanya,
semua bangsa di dunia mempunyai suatu bentuk religi. Bentuk religi
muncul karena manusia sadar dan takut akan maut. Bentuk religi tertua
adalah penyembahan kepada roh yang merupaan personifikasi dari jiwa
orang yang telah meninggal, terutama dari nenek moyangnya yang kemudian
berevolusi terhadap pemujaan kepada dewa.
Hal ini
sesuai dengan pandangan Edward B. Taylor. Ia mengatakan bahwa tingkat
tertua dari evolusi religi adalah pemujaan kepada jiwa orang yang telah
meninggal yang disebut makhluk halus (spirit), yakni jiwa yang telah
merdeka, terlepas dari tubuh jasmani untuk selamanya. Keyakinan ini
disebut animisme. Jadi, dapat kita ketahui bahwa tradisi masyarakat
Indonesia sebelum mengenal tulisan adalah sebagai berikut.
a.
Organisasi kemasyarakatannya sudah ada, yaitu adanya masyarakat teratur,
demokratis, dan memilih pemimpinnya dengan primus inter pares dalam
bentuk kesukuan.
b. Kemasyarakatan atau pranata sosialnya adalah masyarakat yang hidup berkelompok sebagai makhluk sosial, dan bergotong royong.
c. Memiliki pengetahuan alam, yakni memanfaatkan alam di sekitarnya sebagai wujud peduli dan memelihara alam lingkungannya.
d. Sudah mengenal sistem persawahan.
e. Kemampuan berlayar dan berdagang dengan memanfaatkan angin musim, bahkan mereka sudah berani mengarungi laut luas.
f. Sudah memiliki teknologi perundagian, yakni pengecoran logam dengan sistem bivalve dan a cire perdue.
g. Sistem kepercayaan pada mulanya menyembah roh nenek moyang kemudian menyembah dewa.
h. Sudah memiliki sistem ekonomi barter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar