Sejarah Kerajaan Mataram Islam
- Sutawijaya menjabat sebagai raja pertama di Mataram (1589-1601)
dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada masa
pemerintahannya, banyak terjadi perlawanan dari para bupati yang semula
tunduk pada Mataram, misalnya Demak dan Pajang.
Perlawanan
juga datang dari daerah Surabaya, Madiun, Gresik, dan Ponorogo.
Terjadinya perlawanan-perlawanan ini dikarenakan Senopati mengangkat
dirinya sendiri sebagai sultan di Mataram. Padahal pengangakatan dan
pengesahan sebagai sultan di Jawa biasanya dilakukan oleh wali. Selama
berkuasa, hampir seluruh wilayah Pulau Jawa dapat dikuasainya. Akan
tetapi, ia tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain
sebagai raja yang sejajar dengan mereka.
Sepeninggal
Panembahan Senopati, penggantinya adalah putranya, Raden Mas Jolang
(1601-1613). Pada masa pemerintahannya ia melanjutkan usaha ayahnya
meluaskan wilayah kekuasaan Mataram. Akan tetapi, ia tidak sekuat
ayahnya sehingga tidak mampu memperluas wilayahnya dan wafat di daerah
Krapyak. Oleh karena itu, ia diberi gelar Panembahan Seda Krapyak.
Pengganti
Mas Jolang adalah putranya Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1645). Ia bergelar Sultan Agung Senopati Ing Alaga Sayidin
Panatagama. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai puncak kejayaan.
Sultan Agung berusaha menyatukan Pulau Jawa. Mataram berhasil
menundukkan Tuban dan Pasuruan (1619), Surabaya (1625), dan Blambangan
(1639). Hasil ekspansi ini membuat wilayah Mataram semakin luas.
Hal-hal penting yang dicapai oleh Sultan Agung sebagai berikut.
1. Mempersatukan tanah Jawa dan Madura (kecuali Batavia dan Banten), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
2. Mempertahankan Mataram sebagai negara agraris. Mataram maju dengan perdagangan berasnya.
3.
Mengadakan ekspansi secara besar-besaran sehingga mampu menguasai
daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang VOC di
Batavia dua kali (1628 dan 1629), tetapi gagal. Kegagalan ini disebabkan
oleh perbekalan sangat kurang, gudang beras di Karawang dibakar oleh
VOC, jarak antara Batavia dan Mataram sangat jauh sehingga menyebabkan
prajurit kelelahan, Batavia dipagari tembok-tembok yang tinggi dan
dilengkapi persenjataan yang modern, adanya wabah penyakit dan Banten
tidak mengusir penjajah.
4. Mengubah
perhitungan tahun Jawa dari Hindu (Saka) ke Islam (Hijrah). Perhitungan
tahun Jawa Hindu berdasarkan peredaran matahari sedangkan tahun Jawa
Islam berdasarkan peredaran bulan. Tahun 1638 bertepatan dengan tahun
1555 Saka.
5. Menulis
kitab Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat, kitab Niti Sruti,
kitab Niti Sastra Asthabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang
bersumber pada kitab Ramayana.
6. Mengadakan upacara Gerebeg Maulud dan Gerebeg Syawal.
Setelah
Sultan Agung wafat, tidak ada raja pengganti yang memiliki kecakapan
seperti Sultan Agung, bahkan ada raja yang menjalin kerja sama dengan
VOC. Akibatnya, banyak terjadi pemberontakan, misalnya pemberontakan
Adipati Anom yang dibantu Kraeng Galesung dan Monte Merano,
pemberontakan Raden Kadjoran, serta pemberontakan Trunojoyo. Dalam
menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut, raja-raja Mataram,
misalnya Amangkurat I dan II, meminta bantuan VOC. Hal inilah yang
menyebabkan raja-raja Mataram semakin kehilangan kedaulatan.
Trunojoyo
adalah putra raja Madura, cucu Cakraningrat I. Ia mengadakan perlawanan
terhadap Amangkurat I dan II karena kedua raja itu bekerja sama dengan
VOC. Selain itu, ayahnya dibunuh oleh Amangkurat I dan sepeninggal
ayahnya, bukan dia yang menjadi penggantinya, melainkan pamannya,
Cakraningrat II. Merasa tidak puas, ia kemudian mengembara dan bertemu
Adipati Anom (kelak Amangkurat II), Kraeng Galesung, dan Pangeran Giri
(keturunan Sunan Giri). Dengan bantuan mereka, ia mengadakan
pemberontakan terhadap Amangkurat I. Setelah berhasil menguasai Madura,
ia menyerang Mataram. Pemberontakan Trunojoyo dapat dipadamkan oleh
Amangkurat II (yang semula menjadi sekutunya) dengan bantuan VOC.
Setelah
wafat pada tahun 1703, Amangkurat II digantikan oleh putranya, yaitu
Sunan Mas (Amangkurat III). Pengangkatan Amangkurat III ditentang oleh
Pangeran Puger, adik Amangkurat II atau paman Amangkurat III. Akibatnya,
terjadilah Perang Mahkota I (1704-1708) yang dimenangkan oleh Pangeran
Puger yang dibantu oleh VOC. Setelah naik takhta, Pangeran Puger
bergelar Paku Buwono I (1708-1719). Adapun Sunan Mas/ Amangkurat III
melarikan diri ke daerah pedalaman Malang.
Pada waktu
Paku Bowono I wafat (1719), takhta kerajaan diganti oleh putra mahkota,
Sunan Prabu Mangkunegara yang bergelar Amangkurat IV (1719 – 1727). Pada
masanya, berkobar Perang Mahkota II (1719 – 1723). Selain Pangeran
Diponegoro (nama yang kebetulan sama dengan Pangeran Diponegoro yang
melawan Belanda pada abad ke-19) dan Pangeran Dipasanta, keduanya putra
Paku Buwono I dari selir, memberontak pula Pangeran Purboyo, Pangeran
Blitar, dan Arya Mataram. Pada tahun 1723, pemberontakan-pemberontakan
tersebut dapat dipadamkan berkat bantuan VOC.
Setelah
Amangkurat IV, takhta selanjutnya dipegang oleh Paku Buwono II. Masa
pemerintahannya (1727 – 1749) merupakan babak terakhir sejarah Kerajaan
Mataram. Pada masanya, terjadi Perang Mahkota III (1947 – 1755). Raden
Mas Said, putra Mangkunegara yang bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi,
mengadakan pemberontakan terhadap Paku Buwono II. Seperti halnya Perang
Mahkota I dan II. Perang Mahkota III ini pun melibatkan campur tangan
VOC. Bahkan, sebelum Paku Buwono II wafat (1749), kekuasaan Mataram
telah diserahkan kepada VOC.
Pengganti
Paku Buwono II adalah putranya, Adipati Anom yang bergelar Paku Buwono
III (1749 – 1788). Pada masa pemerintahannya (1755) diadakan Perjanjian
Giyanti antara Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi untuk mengakhiri
perebutan kekuasaan. Hasilnya, wilayah Mataram dibagi menjadi dua, yaitu
Kasunanan Surakarta dengan Paku Buwono III sebagai rajanya dan
Kesultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar
Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Perkembangan
selanjutnya, Raden Mas Said dan Paku Buwono III menandatangani
Perjanjian Salatiga (1757). Isinya, Raden Mas Said mendapatkan sebagian
daerah Kasunanan Surakarta yang kemudian dikenal dengan nama
Mangkunegaran. Dengan demikian, wilayah Mataram terbagi menjadi tiga,
yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran.
Birokrasi Pemerintahan Mataram
Di dalam
struktur pemerintahan, raja memegang kekuasaan tertinggi, kemudian
diikuti oleh sejumlah pejabat yang diserahi tugas-tugas tertentu.
Jabatan-jabatan di bawah raja ada hubungannya dengan pembagian wilayah.
Wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah
dengan keraton sebagai pusatnya.
1. Wilayah Kutanegara atau Kutagara, yaitu wilayah ibu kota kerajaan yang meliputi istana raja.
2. Wilayah Negara Agung, yaitu wilayah yang mengitari Kutanegara.
3. Wilayah
Mancanegara, yaitu wilayah yang berada di luar Negara Agung tetapi tidak
termasuk wilayah pantai. Wilayah ini dibagi menjadi dua, yaitu
Mancanegara Wetan yang meliputi Jawa Timur sekarang dan Mancanegara
Kilen yang meliputi Jawa Tengah sekarang.
4. Wilayah
Pesisiran, yaitu wilayah yang terletak di daerah pantai utara Jawa.
Wilayah ini dibagi dua, yaitu Pesisiran Wetan dan Pesisiran Kilen yang
dibatasi oleh Sungai Serang yang mengalir di antara Demak dan Jepara.
Adapun jabatan pemerintahan di bawah raja dibagi menjadi dua jabatan pokok.
1. Jabatan
di dalam istana, dipegang oleh empat wedana lebet (wedana dalam) yaitu
wedana gedong kiwa dan wedana gedong tengen yang bertugas mengurus
keuangan dan perbendaharaan istana, serta wedana keparak kiwa dan wedana
keparak tengen yang bertugas mengurus keprajuritan dan pengadilan.
Keempat wedana dalam ini dikoordinasi oleh patih dalam (patih lebet).
Untuk urusan pemerintahan di Kutanegara, raja mengangkat dua orang
tumenggung. Baik wedana dalam maupun tumenggung, keduanya termasuk
anggota Dewan Tertinggi Kerajaan.
2. Jabatan
di luar istana ada tiga, yaitu jabatan di wilayah Negara Agung, jabatan
di wilayah Mancanegara, dan jabatan di wilayah Pesisiran. Wilayah Negara
Agung terbagi menjadi delapan yang masing-masing dikepalai oleh wedana
jawi (wedana luar). Kedelapan wedana luar ini dikoordinasi oleh patih
luar (patih jawi). Wilayah Mancanegara, baik wetan maupun kilen,
masing-masing dikepalai oleh wedana bupati, sama seperti di wilayah
Mancanegara. Selain bergelar tumenggung atau adipati, wedana bupati di
wilayah Pesisiran juga bergelar Kiai Demang atau Kiai Ngabehi.
Di bidang
pengadilan, terdapat jabatan jeksa yang berhak mengemukakan bukti dan
mengajukan tuntutan. Adapun yang berhak mengadili adalah raja. Sementara
itu, pejabat-pejabat seperti wedana dan bupati tidak mendapat gaji,
tetapi mereka mendapat hak tanah gaduhan sebagai tanah lungguh. Untuk
menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan diciptakan
peraturan-peraturan yang dinamakan angger-angger. Angger-angger ini
harus ditaati oleh seluruh penduduk.
Demikianlah Sejarah Kerajaan Mataram Islam, Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar