Proses Interaksi Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam
1. Perpaduan tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam dalam institusi sosial masyarakat
Masuknya
agama Islam ke Indonesia membawa banyak pengaruh dan perubahan berbagai
aspek dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Masuknya budaya Islam
tidak menyebabkan hilangnya kebudayaan Indonesia pro-Islam, yaitu
kebudayaan prasejarah dan Hindu-Buddha, tetapi justru memperkaya budaya
Indonesia. Kebudayaan Islam berpadu dengan kebudayaan prasejarah dan
Hindu-Buddha melalui proses akulturasi.
Proses
akulturasi ini terjadi karena masyarakat Indonesia memiliki dasar-dasar
kebudayaan yang cukup tinggi sehingga budaya yang masuk menambah
kekayaan budaya. selain itu, bangsa Indonesia juga memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan kebudayaan yang datang (teori Local Genius).
Bentuk
akulturasi budaya yang lain adalah sistem pemerintahan. Sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal
sistem pemerintahan kepala suku yang berlangsung secara demokratis. Akan
tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha, tata pemerintahan
disesuaikan dengan sistem yang berkembang di India. Seorang kepala
pemerintah bukan lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja yang
memerintah secara turun-temurun. Artinya, pemilihan raja bukan lagi
ditentukan oleh kemampuan melainkan keturunan.
Adapun pada
masa Islam, sebutan raja berganti sultan yang berkuasa atas kekuasaan
negara, agama, dan budaya. Namun ada juga sebutan sunan, misalnya, gelar
raja-raja Mataram. Mereka bergelar sunan karena mereka lebih
mementingkan sebagai kepala agama.
2. Perbandingan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dengan kerajaan-kerajaan Islam
Dalam
pandangan rakyat pada masa Hindu-Buddha, raja diidentikkan dengan dewa
(kultus dewa raja). Dalam diri raja terdapat roh dewa yang mengendalikan
pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa. Raja
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.
Setelah
zaman Islam, kultus dewa raja sudah tidak berlaku. Hal ini terjadi
karena agama Islam menempatkan raja sebagai penyebar agama Islam.
Manusia yang terpilih sebagai wali akan mendapatkan tanda khusus dari
Tuhan dalam bentuk kalifatullah (wali Tuhan), yaitu
perlambang-perlambang tertentu. Berdasarkan hal itu, seorang raja harus
memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan.
Bentuk
legitimasi ini oleh orang Jawa disebut wahyu (pulung). Seseorang yang
telah mendapat wahyu keraton akan menjadi penguasa seluruh tanah Jawa.
Seorang raja harus memiliki perlambang-perlambang dengan kekuatan magis.
Misalnya dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa takhta Kerajaan
Majapahit harus diduduki terlebih dahulu oleh Sunan Giri selama 40 hari
untuk menolak bala sebelum diserahkan kepada Raden Patah. Perlambang
lain yang dapat menunjukkan kekuatan magis menurut Babad Tanah Jawi
adalah gong.
Sementara
itu di Kerajaan Ternate, benda yang diyakini memiliki kekuatan magis
adalah mahkota, kereta kerajaan, payung, keris, dan pedang. Adapun benda
pusaka di Kerajaan Banjar adalah payung, kursi, dan mahkota.
Kepercayaan adanya tanda-tanda tersebut sama sekali tidak diajarkan
dalam Islam. Hal itu merupakan tradisi pra-Islam (Hindu-Buddha) yang
masih tetap dipercaya pada zaman Islam, bahkan pada saat ini pun masih
ada sekelompok masyarakat yang mempercayainya.
Demikianlah Materi Proses Interaksi Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, dan Islam, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar